Minggu, 29 September 2019

Makalah Istihsan


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil ‘alamin. Puji syukur atas kehadirat Allah subhanahu wata’ala, karena atas berkat dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ”Istihsan”. Tidak lupa sholawat serta salam tidak lupa kami panjatkan kepada jungjungan kita nabi besar Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam.Yang telah mengantarkan kita dari jalan gelap menuju ke jalan yang terang yaitu agama islam.Terima kasih juga, kepada anggota kelompok yang sudah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Kami sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kita harapkan. Akhir kata kami ucapkan terima kasih atas semua perhatiannya semoga makalah ini bisa memberikan manfaat.
          



Sabtu, 29 Maret 2019










DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 3
A.    LATAR BELAKANG......................................................................... 3
B.     RUMUSAN MASALAH..................................................................... 3
C.     TUJUAN............................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................    4
A.    Pengertian Istihsan............................................................................... 4
B. Macam-Macam Istihsan........................................................................ 5
C. Kekuatan Istihsan Dalam Ijtihad.......................................................... 7
D. Relevansi Istihsan Dimasa kini dan Mendatang................................... 9
             BAB III PENUTUP...................................................................................... 10
A.    KESIMPULAN.................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 11








BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Pada zaman sekarang ini banyak sekali permasalahan yang muncul seiring, berkembangnya teknologi segala sesuatu akvitas manusia dimudahkan oleh dunia digital dan teknologi-teknologi canggih. Pada zaman Nabi Pun menyelesaikan persoalan dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Oleh, karena itu persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai metode misalnya Istihsan. Dan  Istihsan ini akan dibahas secara sedikitnya menyeluruh.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dari Istihsan ?
2.      Apa saja macam-macam dari Istihsan ?
3.      Bagaimana kekuatan Istihsan dalam ijtihad ?
4.      Bagaimana relevansi istihsan dimasa kini dan mendatang ?

C.     Tujuan

1.      Untuk memahami arti dari istihsan
2.      Untuk mengetahui macam-macam istihsan secara menyeluruh
3.      Untuk memahami kekuatan istihsan sebagai pintu ijtihad
4.      Untuk mengetahui relevansi istihsan yang ada di masa kini dan mendatang











BAB  II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Istihsan
      Bila dilihat dari asal katanya istihsanberasal dari kata إِسْتَحْسَنَيَسْتَحْسِنُ إسْتِحْسَانٌ artinya mencari kebaikan. Al-Hasan menyebutkan makna istihsan secara bahasa dengan ungkapan طَلَبٌ مَا أَحْسَنَ artinya “ mencari yang lebih baik”.
Secara istilah, istihsan menurut ulama Ushul Fiqh adalah:
اَلْعُدُوْ لُ مِنْ قِيَاسٍ إلَى قِيَاسٍ أَقْوَى
“Berpindah dari Qiyas pada Qiyas yang lebih kuat”.

  Adapun Imam Abu Hasan al-Karkhi mengemukakan pengertiannya yaitu:
أَنْ يُعْدَلَ اْلمُجْتَهِدُ عَنْ يَحْكُمَ فِى اْلَمْسأَ لَةِبِمِثْلِ مَا حُكْمُ بِهِ فِى نَظَا ئِرِ هَا لِوَ جْهٍ اَقْوَى يَقْتَضِى اْلعُدُ وْ لُ عَنِ اْ لأَ وَّلِ
“penetapan hukum dari seorang Mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat menghendaki dilakukannya penyimpangan itu”.

    Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqh, bahwa diantara definisi-definisi Istihsan yang ada, definisi al-Karkhi ini merupakan yang paling mendekati dalam menjelaskan hakikat Istihsandalam pandangan Madzhab Hanafi.









B.     Macam-Macam Istihsan

Istihsan terbagi kepada dua bagian, yaitu:
a.       Mengutamakan qiyas khafi (yang samar-samar) dari pada qiyas jalli (yang jelas) berdasarkan dalil. Contohnya ialah:

1)      Dalam qiyas jalli, Wakaf diqiyaskan kepada jual beli, lantaran keduanya sama-sama melepaskan hak milik dari pihak pemilik. Dalam jual beli mesti jelas terinci tertulis jenis-jenisnya. Karena wakaf itu diqiyaskan kepada jual beli, maka dalam wakaf pun harus jelas terinci. Dalam qiyas khafi , Wakaf diqiyaskan kepada sewa-menyewa, karena pada keduanya dimaksudkan pengambilan manfaat. Dalam hal ini tidak mesti terinci. Karena wakaf diqiyaskan kepada sewa-menyewa, maka dalam hal ini tidak perlu untuk terinci. Adapun segi Istihsannya adalah mengutamakan qiyas khafi . dengan demikian, apabila seseorang yang berwakaf telah mewakafkan sebidang tanaha pertanian, maka termasuk di dalamnya; hak perairan, air minum, dan lain-lain sekalipun tidak disebutkan dalam perjanjian. Karena yang dimaksud dengan wakaf adalah pemanfaatan barang yang diwakafkan kepada pihak yang menerima wakaf. Dengan kata lain masalah pengairan, air minum dan hak melewati, menyewakan tanah lumpur dengan tidak disebutkan semua itu, berarti tanah lumpur itu pun termasuk wakaf, walaupun tidak disebut.

2)      Tentang wanita, bahwa wanita itu aurat (aib, cela) karen akan membawa pada fitnah. Dalam qiyas jalli. Memandang aurat wanita diqiyaskan kepada ‘wanita itu aurat’ dilihat dari sama-sama akan membawa fitnah, maka hukumnya haram. Dalam qiyas khafi, diperbolehkan melihat sebagian aurat wanita karena adanya hajat/keperluan, jika tidak dilakukan akan membawa kesulitan. Maka qiyas khafinya, mengqiyaskan melihatnya seorang dokter pada sebagian aurat wanita saat mengobati/ memeriksa, kepada melihat aurat wanita karena ada hajat, dari sisi adanya keperluan dan jika tidak, menimbulkan masyaqqah , maka hukumnya boleh. Istihsannya, mengutamakan qiyas khafi dari qiyas jalli.


b.      Mengecualikan hukum juz’i (bagian atau khusus) dari pada hukum kulli (umum). Contohnya ialah:

1)      Dalam hukum yang bersifat umum, tidak sah jual beli pada saat terjadi, barang belum ada, termasuk pada jenis jual beli Gharar . Hukum yang juz’i, dibolehkannya jual beli salam (jual beli dengan pembayaran lebih dahulu, tapi barangnya dikirim kemudian), dibolehkan ijarah = sewa-menyewa, dibolehkan muzar’ah  = nengah sawah. Istihsannya, karena sangat dibutuhkan dan telah jadi kebiasaan. Maka diambil hukum yang juz’i.

2)      Orang yang mencuri harus dipotong tangannya, Umar menyatakan, kecuali pencurian itu dilakukan pada saat kelaparan. Maka diambil hukum yang kedua

3)      Oarang yang dibawah perwalian tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri karena takut hancur. Jika ia mawakafkan hartanya untuk kekekalan, maka boleh. Istihsannya untuk kelangsungan dan tidak hancur.

4)      Dilarang mendekati zinah, termasuk di dalamnya memandang wanita. Pada saat khitbah diperbolehkan memandang wanita yang dikhitbah untuk mengkekalkan pada perjodohan. Maka Istihsannya mengambil hukum yang kedua.
`






C.     Kekuatan Istihsan dalam Ijtihad

1)      Istihsan bersifat responsif, karena istihsan menciptakan, menetapkan hukum baru yang diorientasikan dengan nilai-nilai intifaiyah (urgensitas) seperti pembolehan mengambil upah, bayaran bagi pengguna kamar mandi. Sebab tanpa ada uang ganti, untuk kebersihannya adalah memerlukan biaya.

 Contoh lain: hukum budidaya undur-undur, cacing yang diasumsikan mampu mengobati penyakit stroke, kolesterol dan maag, asam urat.

     Karena permasalahan ini tidak terjadi di masa Rasulullah, maka perlu adanya istimbath hukum. Istimbath hukum yang relevan dengan situasi dan kondisi adalah dengan metode istihsan.

2)     Istihsan bersifat progresif
 Keprogresifan istihsan sebagai metode istimbath hukum adalah karena istihsan bergerak maju,
 contoh:
a)       Akad salam, menurut hukum jual beli, maka harus berwujud beserta sifat-sifatnya, sedangkan akad salam adalah akad jual beli, yang barangnya belum berwujud, hanya pemesan memberikan karakterkarakter barang yang dipesan. Ini tidak boleh dalam hukum qiyas, dalam istihsan boleh. Bolehnya menurut istihsan karena hidup di zaman sekarang telah berubah, seiring dengan zaman juga gaya hidup manusia atau disebut budaya juga telah berubah, maka sesuai dengan hukum responsif, hukum harus mampu mengadopsi terhadap problematika sosial.

b)       Akad Sirkah kerja, seorang pemborong bila akan mengerjakan gedung, jembatan, jalan, baik dengan cara borongan atau hitungan hari. Untuk mengukur sejauhmana kemampuan orang (tenaga) dalam satu hari itu ada perbedaan di antara manusia satu dengan yang lain.

      Maka dari itu untuk menetapkan kepastian hukum boleh atau tidaknya dalam bayaran (baik borongan atau harian) maka diperlukan metode baru yaitu istihsan. Karena Istihsan adalah dilandasi dengan nilai-nilai kebaikan, suatu kebaikan dapat diterima oleh akal bilamana perbuatan, atau keputusan itu mengandung nilai manfaat (kebaikan) baik diri atau orang lain, serta kebaikan menurut agama.

      Contoh yang berkaitan dengan nilai progresivitas adalah perilaku sahabat Umar, beliau telah membentuk baitul mal (tempat menyimpan uang negara), dan juga mencatat harta benda para pegawainya. Perilaku Umar adalah tidak ada perintah agama (Al-Qur'an dan hadits) tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk melindungi harta dan jiwa manusia dari kerapuhan iman sehingga tidak menumbuhkan kerakusan.

Adapun dalil yang dipegang oleh ulama yang meyakini istihsan sebagai dalil hukum adalah:

فَبَشِّرْ عِباَدِيَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ

”Berilah kabar gembira kepada hamba-hambaKu yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya....” (QS. Az-Zumar: 18)

ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

“ Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam, maka ia dihadapan allah juga baik” (HR. Ahmad ibn Hanbal)



D.    Relevansi Istihsan di Masa kini dan Mendatang
Istihsan itu digunakan oleh sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara konvesional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Dengan cara konvesional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang (tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan yang konvesional tersebut. Pendekatan yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang disebut istihsan.

Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa hukum-hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan sebagai fiqh waq’i bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian oarang yang tidak mengetahui hakikat fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia daripadanya.

Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin komplek, permasalahan itu harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum islam. Kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama (konvesional) yang digunakan oleh ulama terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan tersebut dengan baik (tepat). Karena itu, para mujtahid harus mampu menemukan pendekatan atau dalil alternatif di luar pendekatan lama. Oleh karena itu kecendrungan untuk menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks.







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

        Istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Istihsan terbagi menjadi dua macam: Mengutamakan qiyas khafi (yang samar-samar) dari pada qiyas jalli (yang jelas) berdasarkan dalil dan Mengecualikan hukum juz’i (bagian atau khusus) dari pada hukum kulli (umum). Dalam kekuatannya istihsan bersifat responsif dan progresif dalam melakukan suatu hukum, maka mempunyai kecocokan untuk menyelesaikan masalah di masa sekarang dan mendatang. Karena lagi pada masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin komplek.



















DAFTAR PUSTAKA

Fathurrohman,N dan Kasja Eki Waluyo.2019.Mengenal Ushul Fiqh Dalan Studi Islam.Bekasi Timur: CAKRAWALA CENDEKIA.
http://eprints.walisongo.ac.id/146/1/Imron_Tesis_Sinopsis.pdf
http://ilmupengetahuancoy.blogspot.com/2013/05/al-istihsan-sebagai-dalil-hukum.html





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Renang

BAB I  Pendahuluan  1.1. Dasar Pembuatan makalah ini tentang bidang olahraga “renang” yang dibuat untuk memenuhi tugas Pendidikan J...