BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Asia Tenggara atau disebut juga “Southeast Asia”
atau “Shouth-East Asia” sebutan bangsa-bangsa barat terhadap Asia Tenggara.
Dimana kawasan Asia Tenggara antara lain Myanmar, Indonesia, Thailand,
Malaysia, Singapura, Philipina, Timor-Leste, Brunei Darussalam, Laos, Kamboja,
dan Vientnam. Kawasan Asia Tenggara terkenal dikalangan bangsa-bangsa Eropa
sebagai kawasan yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan
berpengaruh besar, dimana bangsa Eropa kini begitu menaruh perhatian akan
perkembangan negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang mulai berkembang pesat
dan menjadi momok menakutkan bila perkembangan yang pesat itu terjadi.
Wilayah Vietnam, Laos dan Kamboja zaman moderen
lebih dikenal dengan nama Indo-China. Hal ini disebabkan kawasan ini merupakan
wilayah kesatuan jajahan Perancis. Dalam Bahasan kali ini, pemakalah akan
membahas mengenai Laos pada awal Imperialisme Perancis hingga Pengaruh
Komunisme Vietnam. Keguncangan politik di negara tetangganya Vietnam membuat
Laos menghadapi Perang Indochina Kedua yang lebih besar (disebut juga Perang
Rahasia) yang menjadi faktor ketidakstabilan yang memicu lahirnya perang
saudara. Oleh karena itu akan dibahas mengenai Sejarah Laos dengan rinci.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini akan merumuskan tentang
:
1. Bagaimanakah
posisi Laos dalam kawasan Indo-China ?
2. Bagaimanakah
awal Imperialisme Perancis ke Laos ?
3. Bagaimanakah
pengaruh Komunis Vietnam di Laos ?
4. Bagaimanakah perlawanan anti Komunis di Laos ?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
:
1. Mengetahui posisi Laos dalam kawasan
Indo-China.
2. Mengetahui Awal Imperialisme Perancis ke Laos.
3. Mengetahui pengaruh Komunis Vietnam di
Laos.
4. Mengetahui perlawanan anti Komunis di Laos.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Posisi Laos dalam kawasan Indo-China
Indo-China
pada dasarnya terdiri atas Vietnam Utara ( RDV ), Vietnam Selatan, Laos dan
Kamboja. Dari segi penduduk , kawasan ini terdiri dari tiga kelompok besar suku
bangsa diantaranya :
1.
Keturunan bangsa Khmer dominan di daerah
Kamboja dan Cochin-Cina;
2.
Keturunan bangsa Thai mendominasi daerah
Laos Utara;
3.
Keturunan bangsa Annam mendominasi
daerah Annam dan Tongking.
Bila ditinjau dari segi kebudayaan, Indo China
merupakan kawasan yang terdiri atas dua pengaruh besar, yaitu :
1.
Pengaruh budaya India ( Hindu-Budha )
berpengaruh dominan di daerah Laos dan Kamboja.
2.
Pengaruh budaya Tiongkok mendominasi
kawasan Vietnam ( Sumarjono, 2007: 14 )
Berdasarakan
pemaparan yang disampaikan diatas dapat ditarik benang merah bahwa posisi Laos
merupakan salah satu kawasan yang tergabung dalam Indo-China. Kebudayaan di
Laos pun mendapatkan pengaruh budaya India ( Hindu-Budha), yang jelas berbeda
dengan Vietnam yang nantinya melakukan perluasan kekuasaan ke daerah Laos.
Laos
menjadi wilayah imperium Bangsa Barat yaitu Perancis akibat wilayah Vietnam
yang jatuh ke tangan Perancis. Karena Laos merupakan bagian dari Indo-China,
maka Laos beserta Kamboja nantinya akan terkena imbas dari pengeksploitasian
bangsa Perancis. Dalam rumusan masalah selanjutnya akan dibahas mengenai awal
Imperialisme Perancis dalam kawasan Laos.
2.2 Awal
Imperialisme Perancis ke Laos
Pada tahun 1873 sampai tahun 1874 terjadi perang ke
dua antara Vietnam dan Prancis. Prancis di pimpin oleh Francis Garnier
mengadakan serangan kepada Tongkin dan berhasil menduduki Hanoi, hingga di
akhiri dengan di sepakatinya perjanjian Saigon II, di tanda tangani oleh
Admiroal Dupre dan Tu-Duc pada tanggal 15 Maret 1874 yang isinya yakni :
1.
Tu-Duc mengakui kedaulatan Prancis atas
Chocin-China;
2.
Tu-Duc setuju mengakui seorang Residen
Prancis di Heue;
3.
Pelabuhan Qui-nonh, Tourane.
4.
Pelayaran di sungai Merah-Yunnan di
nyatakan bebas;
5.
Kebebasan memeluk agama Room-Katolik di
jamin;
6.
Sebagai imbalan, Tu-Duc di bebaskan dari
kewajiban membayar sisa ganti rugi yang
belum terbayar. (Marjono,2003)
Namun setelah itu terjadi lagi perang antara Vietnam
dan Prancis karena Tu-Duc mengadakan hubungan kerjasama dengan Tiongkok untuk
meminta bantuan persenjataan. Prancis menuduh Vietnam melanggar perjanjian
antara Vietnam dan Prancis yaitu perjanjian Saigon, maka Vietnam harus
menyesuaikan politik luar negeri Perancis. Dalam peperangan Vietnam kalah dan
di akhiri dengan kesepakatan perjanjian Hue pada tahun 1883 yang menetapkan
Tu-Duc harus mengakui naungan Prancis dan Vietnam. Semenjak hal tersebut
Prancis menjadi penguasa di seluruh wilayah Vietnam dan melanjutkan perluasan
wilayah ke Laos dan Kamboja.
( Sumarjono: 2007: 16 )
Sementara wilayah Vietnam telah resmi dikuasai oleh
Perancis maka selanjutnya tahap awal bagi Perancis yaitu melanjutkan perluasan
wilayah ke daerah Laos. Sejak tahun1868, Perancis mengirimkan sebuah ekspedisi
awal ke Laos untuk menyelidiki rute perdagangan sungai Mekong ke Cina. Pada
tahun 1886, Perancis mendapat izin dari Laos untuk memperluas pemerintahannya
di Laos dengan menempatkan wakil konsulat di Luang Prabang. Tepatnya 20 Januari
1893 wilayah Laos dapat dengan mudah dikuasai oleh Perancis.
Ketika
Perang Dunia Kedua akan berakhir, tentara Jepang datang dan menjajah Laos. Pada
bulan September 1940, setelah Perancis diserang oleh Jerman, pasukan Jepang
menduduki Indo-cina dengan tanpa perlawanan. Secara resmi kekuatan kolonial
Perancis meninggalkan seluruh instalasi militernya untuk digunakan pasukan
Jepang. Dan juga terjadi pertukaran pemerintahan kolonial Perancis secara resmi
ke Jepang.
Perang dunia II tidak banyak mengakibatkan kerusakan
di Laos, bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya,
seperti Myanmar dan Filipina. Di Asia Timur, Perang dunia ke II berakhir pada
tanggal 14 Agustus 1945, yang ditandai dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu.
Kemudian, Perancis mencoba mendirikan kembali kekuatan kolonialnya di Kamboja,
Vietnam dan Laos. Berarti pendudukan tentara Jepang atas Laos hanya berlangsung
sebentar karena tentara Perancis kembali datang ke Laos dan berhasil memukul
mundur tentara Jepang dari kawasan itu. Laos pun kembali dikuasai oleh Perancis
untuk kedua kalinya.
Imperialisme
Perancis di kawasan Indo-China pada umumnya serta kawasan Laos khususnya
merupakan suatu sistem yang dikonsentrasikan pada bidang politik, ekonomi, dan
sosial budaya. Sama halnya dengan wilayah Vietnam dan Kamboja bahwa sistem
Politik Negara Perancis di Laos yaitu dijadikan daerah protektorat kolonial
Perancis. Sedangkan untuk bidang ekonomi, Perancis melakukan eksploitasi
terhadap kawasan Indo-China. Namun untuk daerah Laos yang notabene wilayah yang
kurang menjanjikan dari segi SDA, Perancis kurang begitu tertarik dengan daerah
Laos. Di sisi lain, untuk bidang sosial budaya Laos, Perancis menerapkan
politik asimilasi yaitu memasukkan budaya Perancis ke Indo-China. Sehingga
bentuk upaya dari Perancis adalah mem-Pranciskan kawasan Vietnam, Laos, dan
Kamboja ( Indo-China), yang dalam hemat ini Prancis berarti menjadikan wilayah
koloninya seperti anak dari negeri Induknya.
2.2.1
Kemerdekaan Laos
Pada bulan September 1940, setelah Perancis diserang
oleh Jerman, pasukan Jepang menduduki Indo-cina dengan tanpa perlawanan. Secara
resmi kekuatan kolonial Perancis meninggalkan seluruh instalasi militernya
untuk digunakan pasukan Jepang. Dan juga terjadi pertukaran pemerintahan
kolonial Perancis secara resmi ke Jepang. Perang dunia II tidak banyak
mengakibatkan kerusakan di Laos, bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia
Tenggara lainnya, seperti Myanmar dan Filipina. Di Asia Timur, Perang dunia ke
II berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945, yang ditandai dengan menyerahnya
Jepang kepada sekutu. Kemudian, Perancis mencoba mendirikan kembali kekuatan
kolonialnya di Kamboja, Vietnam dan Laos.
Pada tanggal 1 September 1945, negara Laos
menyatakan kemerdekaannya. Perancis menolak untuk menerima hal tersebut, dan membalas
dengan mengirim pasukannya ke Laos. Perang gerilya berawal ketika tentara Laos
melawan kekuatan kolonial Perancis. Tiga orang pangeran yang terkenal melawan
penjajah adalah Pangeran Souvanna Phoma(Jalan Tengah), Pangeran Souphanavong
(Komunis) dan Pangeran Oune Sananikone (Nasionalis). Pangeran Souphanavong yang
banyak berkenalan dengan paham sosialisme dan menjalin hubungan dengan Ho Chi
Minh dikenal sebagai pemimpin kelompok komunis. Sebaliknya Pangeran Oune
Sananikone yang lebih dekat dengan Muangthai dikenal sebagai pemimpin yswang
beraliran nasionalis. Sedangkan Souvanna Phoma kakak dari Souphanavong lebih
mengambil jalan tengah. Terdesaknya Prancis dikawasan Indo-Cina sebagai akibat
dari perlawanan yang sangat gigih dari kelompok komunis dikawasan Indo-China
yang bersatu untuk mengusir imperialsme.
Negara-negara sekutu seperti Amerika, Prancis,
Inggris mengadakan konverensi Jenewa pada tanggal 25 April 1954 utuk membahas
masalah Korea dan Indo-China. Selain itu China, Uni Soviet, Republik Sosialis
Vietnam (Vietmin), Vietnam Selatan, Kamboja, Laos, Korea Utara dan Korea
Selatan hadir dalam konverensi Jenewa. Pada 20 Juli 1954 konverensi Jenewa
menghasilkan 6 bab dan 57 pasal, yang terkait dengan Indo-China antara lain
berisi keputusan mengakui kemerdekaan penuh pada Kamboja, Laos, dan Vietnam.
Serta diputuskan pula pembagian Vietnam menjadi Vietnam Utara dan Vietnam
Selatan.
Dengan ketiga aliran yang ada di Laos ternyata sulit
untuk membangun aliansi. Apalagi setelah
kedatangan Amerika Serikat sesudah Perang Dunia II dalam rangka mempopulerkan
doktrin John Foster Dulles yang anti komunis. perpecahan antara pemimpin Laos
semakin menajam setelah Souphanavong dengan partai Pathet Lao yang beraliran
komunis melancarkan serangan dan pengaruh di Laos dengan bantuan tentara Viet
Minh. Sedangkan golongan kanan yang nasionalis dibawah pimpinan Sananikone
menjadi lebih kaya karena bantuan Amerika Serikat. Meski kelompok nasionalis
ini kurang popular dalam kepemimpinannya di Laos, nampaknya Laos lebih cenderung
mengambil jalan tengah, walaupun kepopuleran golongan Pathet Lao cukup
menonjol. Sehubungan dengan itulah maka dalam perkembangannya yang berhasil dan
banyak menduduki jabatan Perdana Menteri (PM) adalah Souvana Phoma.
Pada waktu menduduki jabatan Perdana Menteri, Phouma
terus berusaha untuk membentuk koalisi dengan adiknya Souphanavong. Dan hal ini
pernah tercapai dalam tahun 1973, setelah Souvanna Phoma bersama Vongvichit
dari pihak Pathet Lao membubuhkan tanda tangan diatas kertas perjanjian damai
pada hari ke 23 Februari 1973.
( Roeslan Abdulgani; Sardiman, 1983: 60 )
2.3
Pengaruh Komunis Vietnam di Laos
Wilayah Indocina, termasuk Laos sejak abad ke-18
dikuasai oleh Prancis. Namun ketika Perang Dunia II pecah, Prancis sempat
kehilangan kontrol atas wilayah Indocina dan sejak tahun 1940 wilayah Indocina
berada di bawah kekuasaan Jepang. Menyusul jatuhnya bom atom di tanah Jepang
pada bulan Agustus 1945, Jepang mengaku kalah di akhir Perang Dunia II dan
kemudian meninggalkan kekosongan kekuasaan di wilayah-wilayah bekas jajahannya,
termasuk di Laos. Merespon hal tersebut, pada bulan Oktober 1945 sebuah gerakan
nasionalis setempat yang bernama "Lao Issara" (Laos Merdeka) muncul
di Laos dan mengklaim dirinya penguasa baru negara tersebut.
Berakhirnya Perang Dunia II di tahun 1945, Prancis
yang dulu menguasai wilayah Indocina berniat menguasai kembali wilayah yang
berlokasi di sebelah selatan daratan Cina tersebut. Namun, keinginan Prancis
tersebut tidak berjalan mulus karena mendapat penolakan dari sebagian rakyat
Laos yang pro-Lao Issara sehingga sebagai akibatnya, pecahlah perang antara
pasukan Prancis melawan pasukan Lao Issara yang dipimpin oleh Pangeran
Souphanouvong. Dalam perkembangannya, pasukan Prancis yang dari segi kekuatan
dan pengalaman memang lebih unggul berhasil menduduki kembali seluruh wilayah
Laos pada tahun 1946.
Pasca kegagalan menghentikan pasukan Prancis di
Laos, sebagian anggota Lao Issara yang masih tersisa dan enggan bekerja sama
dengan Prancis kemudian melarikan diri keluar Laos. Organisasi Lao Issara
lantas dibubarkan pada tahun 1949 dan setahun sesudahnya, sebagian anggotanya
yang ada di Vietnam Utara lalu mendirikan kelompok bersenjata baru bernama
Pathet Lao (Negeri Lao) yang berhaluan komunis. Sejak pendiriannya, Pathet Lao
memiliki cita-cita mendirikan rezim republik komunis di tanah Laos menggantikan
rezim kerajaan buatan Prancis. Karena faktor kedekatan ideologi, Pathet Lao
dalam perkembangannya juga kerap bekerja sama dengan kelompok Viet Minh
pimpinan Ho Chi Minh yang bermarkas di Vietnam Utara.
Meskipun sudah berdiri sejak tahun 1950, Pathet Lao
baru menunjukkan keberadaannya di medan perang pada tahun 1953. Di tahun itu,
Pathet Lao yang dibantu oleh puluhan ribu prajurit Viet Minh melakukan
penyerbuan ke wilayah Laos utara dan kemudian mendirikan semacam pusat
pemerintahan rahasia berhaluan komunis di sana. Tidak lama kemudian, pasukan
gabungan Viet Minh dan Pathet Lao melakukan serangan-serangan susulan untuk
menguasai wilayah Laos tengah, namun upaya mereka berhasil digagalkan oleh
pasukan Prancis yang dibantu oleh pasukan Kerajaan Laos yang anti-komunis.
Kegagalan memperluas wilayah taklukannya tidak
membuat kubu Pathet Lao dan Viet Minh patah arang. Di awal tahun 1954, pasukan
gabungan keduanya kembali melakukan serangan ke wilayah Laos dari balik
perbatasan Vietnam. Perlahan tapi pasti, mereka berhasil mendesak mundur pasukan
Prancis dan memutus suplai logistiknya. Puncaknya adalah ketika pada bulan Mei
1954, pasukan Viet Minh berhasil menduduki pangkalan militer Prancis di Dien
Bien Phu yang berlokasi di perbatasan Laos-Vietnam.
Sehubungan dengan itulah maka dalam perkembangannya
yang berhasil dan banyak menduduki jabatan Perdana Menteri (PM) adalah Souvanna
Phoma. Pada waktu menduduki jabatan Perdana Menteri, Phoma terus berusaha untuk
membentuk koalisi dengan adiknya Souphanavoug. Dan hal ini pernah tercapai
dalam tahun 1973, setelah Souvanna Phoma bersama Vongvichit dari pihak Pathet
Lao membubuhkan tanda tangan di atas kertas perjanjian damai pada hari ke 23
bulan Februari tahun itu juga.
Peristiwa perjanjian damai itu telah menimbulkan
reaksi keras terutama dari golongan kanan. Banyak para perwira militer yang
bersimpati dengan golongan nasionalis merasa tidak puas dan menuduh bahwa Phoma
telah menjual Laos kepada orang-orang komunis. Kemudian santer terdengar isu
mengenai akan adanya kudeta terhadap pemerintah Phoma. Bagi rakyat dan para
diplomat di Laos sebenarnya tidak begitu tertarik atau terkejut mendengar isu
tersebut, mengingat kudeta seolah-olah telah menjadi sebagian dari kultur dalam
pergantian system kepemimpinan di Laos. Desas-desus itu ternyata menjadi
kenyataan setelah 4 bulan dari penandatanganan perjanjian damai tersebut,
kelompok militer di bawah pimpinan Jendral Thouma melakukan kudeta. Tetapi
kudeta ini tidak mendapat dukungan pihak Amerika yang sebetulnya sangat
diharapkan oleh golongan kanan. Amerika serikat melalui John Dean Gunter wakil
Duta besar Amerika untuk Laos mengatakan bahwa pihak Amerika lebih mendukung
politik koalisi yang dijalankan Phoma. Karena tanpa bantuan Amerika maka kudeta
ini dapat segera digagalkan dan jenderal Thouma sendiri terbunuh, sedang anak
buahnya melarikan diri ke Muangthai.
Dengan perkembangan tersebut maka tentara Pathet Lao
yang bermarkas di perbatasan sebelah utara semakin bebas bergerak memasuki kota
Vientiene dan Luang Prabang tanpa dicurigai lagi. Perkembangan ini sangat
menggembirakan pihak Hanoi yang selama perjuangannya selalu membantu gerakan
komunis Pathet Lao. Apalagi setelah tahun 1975 dan memasuki tahun 1976 ternyata
gerakan komunis di Laos sudah begitu kuat. Dan dalam pemilihan umun yang
dilaksanakan kali ini komunis memperoleh kemenangan. Kemenangan pihak komunis
ini berarti telah membuat warna merah dan berhasil mengendalikan pemerintahan
Laos, walaupun ide koalisi itu tetap ada. Tetapi komunis tetap komunis. Prinsip
kominsme untuk mengkomuniskan suatu Negara yang ditempatinya akan terus
diusahakan. Sehingga lama kelamaan menggeser kaum netralis.
Setelah komunis Pathet Lao berhasil menguasai Laos
maka timbul berbagai masalah yang harus dihadapi. Masalah itu antara lain
karena Laos tidak memiliki daerah pantai sebagai pelabuhan. Sebab sebelum itu
selamanya jalan lalu lintas perekonomiannya melewati Muangthai. Kedua Negara
ini saling berbatasan dan saling bersahabat sebelum Pathet Lao berkuasa di
Laos. Tetapi hubungan ini semakin memburuk sejak Laos jatuh ketangan komunis,
padahal Muangthai mengambil policy anti
komunis. Masalah lain yang dihadapi Laos adalah tidak dimiliknya tenaga-tenaga
ahli yang berpengalaman di berbagai bidang. Sebab semenjak Pathet Lao berkuasa
banyak para tenaga yang memiliki keahlian dan berpengalaman melarikan diri ke
Muangthai. Sehingga Laos kehilangan tenaga-tenaga ahli yang potensial.
( Hall, 1988: 656 )
Dalam situasi yang demikian akan merupakan
perkembangan dan kesempatan yang sangat tepat bagi Vietnam untuk memperbesar
pengaruhnya dengan jalan memberi
bantuan. Pengaruh itu telah diteguhkan pada waktu PM Pham Van Dong, Sekjen
Partai Komunis Vietnam Le Duan dan wakil menteri pertahanan Letjen Chu Huy Man,
mengunjungi Vietiene ibu kota Laos. Dalam rangka kunjungan itu maka pada
tanggal 18 Juli 1979 telah ditanda tangani Deklarasi Bersama yang memuat antara
lain:
Pertama
: Persetujuan militer, maksudnya Laos akan dibela oleh Vietnam menghadapi
ancaman dari luar. Ancaman dari luar ini sekarang dialamatkan kepada Muangthai.
Konflik perbatasan antara kedua Negara itu menjadi semakin meningkat. Di Laos
sendiri telah didatangkan pasukan Vietnam dalam jumlah besar yakni sekitar
50.000 orang
Kedua
: Persetujuan ekonomi. Hal ini dimaksudkan bahwa Laos mengekspor produksinya
tidak lagi melalui Muangthai tetapi melalui pelabuhan Danang di Vietnam bagian
selatan, dan diangkut ke Danang ini melalui darat dengan segala peralatan yang
cukup modern.
Ketiga
: Mengenai ASEAN. Kedua belah pihak baik Vietnam maupun Laos mengutuk keras
usaha-usaha Amerika Serikat yang mempergunakan ASEAN untuk menentang arus
kearah kemerdekaan yang sejati, perdamaian serta kenetralan di kawasan Asia
Tenggara. Vietnam dan Laos sepakat bahwa usaha-usaha yang dilakukan oleh para
penguasa negara-negara anggota ASEAN guna memperkuat persekutuan militer
bilateral diantara mereka dengan papan nama anti komunis, berarti akan mengubah
ASEAN menjadi persekutuan militer secara de facto.
Dengan demikian berarti akan melawan aspirasi rakyat
yang menginginkan kemerdekaan sejati. Hal ini mengandung bahaya dan akan
membuat Asia Tenggara dalam situasi yang tidak stabil, demikian menurut
penilaian Negara-negara sosialis di Indocina. Pernyataan melalui deklarasi
bersama antara Laos dan Vietnam itu jelas ingin mempengaruhi pendapat yang
berkembang dalam konferensi puncak ASEAN di Kuala Lumpur pada bulan berikutnya.
Dalam kenyataan, secara materiil memang ada pengelompokkan dua kekuatan di Asia
Tenggara yakni ASEAN dan Negara-negara Indocina yang dibentengi Vietnam.
Vietnam tahu bahwa ASEAN akan membuat sejarah baru lagi di Kuala lumpur dan
akan mendapat perhatian besar dari dunia Internasional. Oleh karena ini
Vietanam telah membuat move dan isu-isu dengan suatu harapan agar dapat
mempengaruhi pandangan internasional mengenai situasi Asia Tenggara yang tidak
stabil ini dinilai akibat tingkah Negara-negara ASEAN yang didukung oleh
Negara-negara besar.
Isu yang dilontarkan Vietnam itu kurang tepat tetapi
tidak semuanya salah. Dalam kenyataannya ASEAN Nampak lebih dekan denga pihak
Amerika Serikat yang sebenarnya merupakan Super-Power yang secara mati-matian
baru saja disingkirkan dari Vietnam. Rasa permusuhan itu masih cukup membekas,
sehingga setiap yang dekat dengan Amerika Serikat akan dimusuhinya, termasukl
ASEAN. Namun semuanya itu juga tidak terlepas dari ambisi dan sifat komunis
yang subversif dan ekspansionis, di samping perbedaan persepsi dan konsepsi
politiknya.
Sehubungan dengan itu, ASEAN menilai perjanjian
persahabatan dan kerjasama Vietnam-Laos pada tanggal 18 Juli 1977 itu tidak
lain kecuali perjanjian militer dalam rangka melaksanakan prinsip komunisme
yang ingin mengkomuniskan Negara-negara tetangga yang belum komunis. Sehingga
kedudukan Muangthai dalam hal ini sangan terancam. Apalagi dengan berbagai
pernyataan dengan negar-negara lain bahwa Vietnam akan selalu mendukung setiap
gerakan komunis di Asia Tenggara yang ingin memperoleh kemerdekaan sejati,
perdamaian dan kehidupan yang demokratis. Pernyataan ini memberikan kesan bahwa
menurut pandangan Indocina, negar-negara non-komunis di Asia Tenggara ini belum
mencapai kemerdekaan yang sejati. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan
aspirasi rakyat di masing-masing negara.
Vietnam menamakan Laos sebagai zona terdepan serta
memandang bahwa Negara Vietnam sebagai benteng sosialisme dan perdamaian di
Asia Tenggara. Hal ini sebagai suatu indikator bahwa ada semacam persiapan
agresi terhadap Negara-negara tetangga. Dan inilah sebenarnya yang akan
diwujudkan melalui ambisi teritorialnya.
Kunjungan delegasi Vietnam ke Laos melahirkan
persetujuan damai itu, menunjukkan semakin kuatnya pengaruh rezim Hanoi di
kawasan Indocina. Tetapi bagi rezim Hanoi yang dibimbing oleh cita-cita Ho Chi
Minh, tidak puas sampai di Laos. Kamboja masih merupakan masalah yang harus
diselesaikan. Sebab Kamboja di bawak kekuasaan Khmer Merah menolak pengaruh
Vietnam, bahkan keduanya memiliki orientasi yang berbeda.
( Sardiman, 1983: 6-7 )
Usai jatuhnya pangkalan militer Dien Bien Phu ke
tangan pasukan Viet Minh, Prancis yang merasa tidak sanggup lagi meneruskan
perang melawan Viet Minh akhirnya mulai terlibat perundingan dengan
perwakilan-perwakilan dari wilayah jajahannya di Indocina. Perundingan itu juga
diikuti oleh negara-negara besar lainnya seperti Uni Soviet, Cina, dan AS.
Bulan Juli 1954 atau sebulan sesudah kekalahan pasukan
Prancis di tanah Indocina, sebuah kesepakatan yang dikenal sebagai
"Kesepakatan Jenewa" (Geneva Accords) akhirnya berhasil dicapai.
Beberapa poin penting dari perjanjian tersebut adalah wilayah-wilayah jajahan
di Prancis akan segera dimerdekakan dan
sebuah zona bebas militer dibentuk di wilayah tengah Vietnam (zona ini
kelak menjadi batas antara Vietnam Utara dan Selatan). Laos sendiri kemudian
dimerdekakan sebagai negara dengan bentuk pemerintahan kerajaan konstitusional,
sementara para anggota Pathet Lao yang disokong oleh Viet Minh masih mengontrol
sebagian wilayah utara Laos. Sebagai akibatnya, wilayah Laos pun saat itu
ibarat terbelah 2 antara wilayah kerajaan di selatan dan wilayah komunis di
utara.
Tahun 1956 alias 2 tahun usai dicapainya Kesepakatan
Jenewa, Pathet Lao mendirikan partai politik baru bernama Neo Lao Hak Sat
(NLHS; Front Patriotik Lao) sebagai sayap politiknya. Setahun berikutnya,
sebuah pemerintahan koalisi akhirnya dibentuk di mana kubu Pathet Lao menguasai
1/3 dari total jatah kursi di pemerintahan. Namun, pembentukan pemerintahan
koalisi itu tidak lantas menandakan akhir dari perpecahan di Laos. Perbedaan
pendapat dengan kubu netralis dan sayap kanan yang pro-Kerajaan membuat
aktivitas pemerintahan di Laos masih belum dapat berjalan.
Situasi semakin panas ketika di tahun 1958, kubu
Vietnam Utara yang berhaluan komunis mengklaim sejumlah desa di Laos utara
sebagai bagian dari wilayahnya. AS yang berusaha menekan pengaruh komunis di
Indocina lantas mulai menyokong Kerajaan Laos secara diam-diam.
Tahun 1959 setelah masing-masing kubu dalam
pemerintahan gagal menemukan titik temu, pemerintahan koalisi Laos akhirnya
runtuh. Runtuhnya pemerintahan koalisi tersebut lantas diikuti dengan pecahnya
perang sipil di tanah Laos antara pihak Pathet Lao yang disokong Vietnam Utara
(Viet Minh), Kerajaan Laos yang disokong oleh AS, dan pihak netralis. Di tahun
yang sama, kubu Vietnam Utara juga mulai memakai wilayah Laos sebagai jalur
rahasia untuk menyelundupkan suplai logistik dari wilayah utara ke
milisi-milisi komunis Viet Kong yang beroperasi di Vietnam Selatan. Jalur
tersebut kelak dikenal dengan nama "jalan kecil Ho Chi Minh" (Ho Chi
Minh trail). Setahun kemudian, perang sipil di Laos mengerucut menjadi perang
antara 2 kubu setelah pihak netralis memutuskan untuk bersekutu dengan Pathet
Lao.
Intensitas perang sipil di Laos semakin panas
setelah di akhir tahun 1959, Uni Soviet memutuskan untuk mulai mengucurkan
bantuan persenjataan ke Vietnam Utara dan Pathet Lao. AS lantas meresponnya dengan
membagi-bagikan senjata kepada milisi-milisi dari etnis Hmong yang pro-Kerajaan
& mengirimkan bantuan pesawat tempur untuk pihak Kerajaan Laos via Thailand
sejak tahun 1961. Para agen rahasia AS (CIA) juga mulai disusupkan ke wilayah
Laos untuk melatih para penduduk di kawasan-kawasan perbukitan Laos untuk
menjadi pasukan milisi anti-komunis. Sebagai akibatnya, aksi jual beli serangan
antara pihak Kerajaan dan pihak komunis pun semakin sengit. Selama perang,
wilayah-wilayah yang dikuasai oleh pihak komunis terkonsentrasi di sebelah
utara dan timur Laos.
Hingga beberapa tahun berikutnya, situasi perang di
Laos tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Menanggapi
situasi tersebut, AS pun lantas memutuskan untuk terjun langsung ke medan
perang. Sejak tahun 1964, pesawat-pesawat tempur mereka melakukan pemboman ke
pangkalan-pangkalan militer dan jalur rahasia yang digunakan oleh pasukan
komunis. Tidak hanya itu, AS juga merekrut sekitar 21.000 orang Thailand untuk
dijadikan tentara bayaran sebagai bantuan bagi pihak Kerajaan Laos. Sebagai akibatnya,
aktivitas perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh kubu Pathet Lao sempat
menurun pada periode ini, namun aliran bantuan dari Vietnam Utara dan sekutunya
membuat Pathet Lao bisa tetap bertahan.
2.4
Perlawanan Anti Komunis di Laos
Sejak itu Laos berangsur-angsur dikuasai oleh Pathet
Lao, banyak orang, bekas pejabat pemerintahan lama dan orang orang yang setia
pada raja, berusaha mengadakan perlawanan terhadap penguasa baru. Penguasa baru
Laos di samping menghadapi golongan nasionalis juga masih menghadapi
serangan-serangan dari suku Meo yang tidak mau tunduk pada penguasa Pathet Lao.
Pada perkembangan selanjutnya suku Meo dan golongan
kanan bergabung melawan penguasa Phathet Lao. Dari Bangkok tanggal 7 Januari
1976 diberitakan bahwa tentara dari suku Meo telah menyerang dan menewaskan
enam tentara Pathet Lao di daerah pegunungan dekat Vientiane. Sementara itu
seorang pemimpin suku Meo mengatakan kepada AFP di Bangkok tanggal 20 Januari
1976 bahwa :
1)
suku Meo sekarang menguasai kembali
daerah Long Chen
2)
suku Meo mempunyai 7.000-8.000 orang
tentara yang beroperasi di Laos dan diorganisir dalam kelompok-kelompok gerilya
kecil-kecil
3)
suku Meo mempunyai cukup persediaan
suplai senjata.
Tanggal 8 dan 9 maret gerilyawan Front Rakyat Laos
yang anti komunis menyerang penjara Tam Khe dekat Viantiane dan menewaskan 20
orang penjaganya. Surat kabar Bangkok, Thairath tanggal 27 Maret 1976
memberikan bahwa:
1)
gerilyawan anti komunis Laos telah
membangun pengkalan-pangkalan di pulau-pulau penting di Sungai Mekong antara
Savanrakhat dan Pakse
2)
sekitar 200 gerilyawan telah melakukan
beberapa serangan terhadap pasukan penguasa Pathet Lao.
3)
gerilyawan-gerilyawan tersebut mempunyai
senjata- senjata yang baik dan amunisi yang cukup.
Suatu pertempuran lain terjadi di selatan Vientiane
tanggal 23 Maret 1976 antara pasukan Pathet Lao dan gerilyawan anti Komunis
mengakibatkan empat tentara Pathet Lao tewas dan dua buah instalasi artelari di
Simmano dan Khoyaideng hancur. Sedang di desa-desa sebelah timur Viantiene tanggal
21 Maret 1976 gerilyawan anti komunis menghadang iringan militer Pathet Lao dan
menewaskan lima tentara Pathet Lao. Dua granat yang hendak meledak di Keduataan
besar Uni Soviet tanggal 13 Maret 1976 mengakibatkan empat diplomat Uni Soviet
luka-luka. Kemudian segerombolan penyerang melemparkan dua granat ke Keduataan
Besar Kuba tanggal 3 April 1976. dari Bangkok tanggal 16 April 1976 diberitakan
bahwa gerilyawan anti komunis Laos yang menemakan dirinya Front Patriotik
Revolusioner Laos (LRPF) telah menyatakan bertanggungjawab atas
serangan-serangan terhadap kedua kedutaan tersebut. Lewat selebaran-selebaran,
kelompok ini menyatakan bahwa:
1)
pihak Uni Soviet dengan terang-terangan
telah memberdayakan rakyat Laos untuk menjadikan kerajaan Laos sebagai satelit
Uni Soviet
2)
LRPF akan melancarakan serangan terhadap
orang-orang Uni Soviet di negar-negara yang menandatangani persetujuan Jenewa
tahun 1954 yang menjamin netralitas Kerajaan Laos dibawah dwi ketua Uni Soviet
dan Inggris.
Untuk menanggulangi serangan-serangan dari
gerilyawan nasionalis pemerintah Laos secara terus-menerus berusaha membasmi
gerakan-gerakan itu. Dari Bangkok tanggal 4 April diberitakan bahwa pemerintah
Laos telah mengoperasikan pesawat-pesawat tempur pembom buatan AS, T-28, untuk
menghancurkan perlawanan gerilyawan nasionalis di Laos Utara. Radio Laos
tanggal 20 Maret mengecam perbuatan sabotase, subversi dan pengrusakan yang
dilakukan golongan anti revolusioner, dan mendesak rakyat serta Angkatan
Bersenjata untuk memperkuat keamanan dan memepertinggi kewaspadaan. CIA telah
mengorganisir golongan tersebut dan berusaha menjadikan Muangthai sebagai
pangkalan anti Laos. Seorang bekas perwira Laos yang lari ke Muangthai
menyatakan di Nong Khai tanggal tanggal 6 Mei 1976 bahwa Pathet Lao sedang
memperbaiki semua pesawat-pesawat tempur dan transportasi yang ditinggalkan
oleh bekas Angkatan Udara Laos untuk mempersiapkan operasi militer
besar-besaran guna menghadapi beberapa gerakan gerilyawan yang telah muncul di
beberapa daerah di Laos. Unutk itu, ahli-ahli mesin Pathet Lao yang belajar
selama tiga tahun di Uni Soviet telah kembali ke Laos.
Seorang pemimpin suku Meo menyatakan di Bangkok
tanggal 22 Juli 1976 bahwa ratusan gerilyawan suku Meo telah tewas akibat
pemboman Pathet Lao di daerah Long Cheng (200 km sebelah timur Vientiane),
sasaran pemboman tersebut sebenarnya Muong Cha, Pha Oio, Phi Khaio dan Pha
Khas, serta sebuah pesawat intai dan holikopter Pathet Lao yang dikemudikan
oleh pilot-pilot Uni Soviet berhasil di tembak jatuh.
Suku Meo dan rakyat Laos yang anti komunis terus
melancarkan perlawanan dengan nama “Tentara Anak Surga”. Perpecahan terjadi
antara golongan ekstrim yang di pimpin oleh PM Kaysone Phomvihan dankelompok
moderat yang dipimpin oleh Presiden Souphanouvong. Jumlah suku Meo yang
mengungsi ke Muangthai saat itu diperkirakan 40.000 orang. Sekitar 500 tahanan
politik melarikan diri dari penjara Vientiane pada tanggal 25 April 1976
setelah berhasil merebut senjata-senjata dari gudang penjara dan menewaskan 12
orang penjaganya. Bong Souvannavong, bekas politikus terkemuka Laos dan
Pangeran Sonk Banavong termasuk diantara para tahanan berhasil melarikan diri.
Tanggal 26 April 1976 penguasa Laos menyatakan
berlakunya jam malam di Vientiane utnuk
mencari para tahanan yang melarikan diri. Sementara itu beberapa tahanan yang
sampai di Muangthai menyatakan bahwa sekitar 100 tahanan telah terbunuh. Untuk
mencegah masuknya para tahanan, Muangthai telah menutup dua pos perbatasan dan
menghentikan lalu lintas ferry di Sungai Mekong.
Pada tanggal 27 April 1976 di sungai Mekong terjadi
pertempuran antara Pathet Lao dan para tahanan yang melarikandiri. Sampai pada
tahun 1978 penguasa Muangthai telah menahan 50 tahanan yang berhasil
menyeberangi sungai Mekong. Dikabarkan bahwa sekitar 150 tahanan masih bebas di
Laos dan 180 orang lainnya ditangkap.
Sidang Majelis Rakyat Tertinggi pertama berlangsung
Di Vientiane tanggal 23 Desember 1975- 3 Januari 1976 dan memutuskan membuat
rancangan konstitusi baru, rencana kerja Majelis serta program pemerintah hari
Nasional Laos tanggal 2 Desember 1976. dari Vientiane tanggal 11 April 1976
diberitakan bahwa pemerintahan Laos telah memulai suatu revolusi kebudayaan
pertama. Untuk melaksanakan revolusi tersebut, diadakan
indoktrinasi-indoktrinasi khusus untuk para pemuda yang menganggur, para
perusuh, para pejudi, dan pecandu obat bius. Ratusan orang telah ditahan
termasuk orang-orang asing yang kebanyakan berasal dari Vietnam dan China
(Suara Karya, 12 April 1976). Radio Laos tanggal 11 Mei 1976 memberitakan bahwa
pemerintahan Laos telah membebaskan kelompok pertama bekas perwira-perwira
golongan kanan yang menjalani pendidikan kembali selama satu tahun. Mereka yang
dibebaskan itu ditugaskan kembali dan di satukan ke dalam resimen baru.
2.4.1
Konflik Internal Laos
Setelah lebih dari 3 dekade, sejak tahun 1949 sampai
tahun 1975, situasi politik di Laos selalu dalam keadaan yang tidak stabil.
Perang saudara diantara 3 golongan tidak separah dengan perang saudara di
Vietnam atau di Kamboja. Peristiwa perjanjian damai pada 23 Februari 1973 telah
menimbulkan reaksi keras terutama dari golongan kanan. Banyak perwira militer
yang berimpati dengan golongan nasionalis merasa tidak puas dan menuduh bahwa
Phouma telah menjual Laos kepada orang-orang komunis. Kemudian santer terdengar
issue mengenai akan adanya kudeta terhadap pemerintahan Phoma. Bagi rakyat dan
para diplomat di Laos sebenarnya tidak begitu tertarik atau terkejut mendengar
issue tersebut, mengingat kudeta seolah-olah telah menjadi sebagian kultur dalam
pergantian kepemimpinan di Laos.
Desas-desus itu ternyata menjadi kenyataan setelah 4
bulan dari penandatanganan perjanjian damai tersebut, kelompok militer dibawah
Jendral Thouma melakukan kudeta. Tetapi kudeta ini tidak mendapat dukungan
pihak Amerika Serikat yang sebetulnya sangat diharapkan oleh golongan kanan.
Amerika Serikat melalui John Dean Gunter wakil duta besar Amerika untuk Laos
mengatakan bahwa pihak Amerika lebih mendukung politik koalisi yang dijalankan
Phouma. Tanpa bantuan Amerika maka kudeta ini dapat segara digagalkan dan
Jendral Thouma sendiri terbunuh, sedang anak buahnya melarikan diri ke
Muangthai. Setelah mundurnya kekuatan Amerika Serikat dari Indochina di tahun
1973, pemerintahan sayap kanan di Vientiane menggantikan pemerintahan koalisi
yang netral dan komunis-komunis Pathet Lao.
Pada tahun 1975, setelah pasukan komunis menaklukan
ibukota Vietnam dan Kamboja, komunis Pathet Lao memperoleh kekuatan tunggal di
Laos. Sementara di Laos, sebagian penduduk tertahan di tempat penampungan,
dimana tidak terjadi balas dendam seperti di Kamboja. Perdana menteri netralis
terdahulu yang bernama Souvana tidak ditahan tetapi hanya diturunkan pangkatnya
menjadi penasehat pemerintah. Dengan perkembangan tersebut maka tentara Pathet
Lao yang bermarkas di perbataasan sebelah utara semakin bebas bergerak memasuki
kota Vientiene dan Luang Prabang tanpa dicurigai lagi. Perkembangan ini sangat
menggembirakan pihak Hanoi yang selama perjuangannya selalu membantu gerakan
komunis Pathet Lao. Apalagi setelah tahun 1975 dan memasuki tahun 1976 ternyata
gerakan komunis di Laos sudah begitu kuat. Dan dalam pemilihan umum yang
dilaksanakan kali ini membuat warna merah berhasil mengendalikan pemerintahan
Laos, walaupun ide koalisi itu tetap ada. Tetapi komunis tetap komunis, prinsip
komunisme untuk mengkomuniskan suatu Negara yang ditempatinya akan terus
diusahakan. Sehingga lama kelamaan menggeser peranan kaum netralis.
2.4.2
Perlawanan Gerilyawan Nasionalis
Sejak Laos berangsur-angsur dikuasai oleh Pathet
Lao, banyak orang, bekas pejabat pemerintahan lama dan orang orang yang setia
pada raja, berusaha mengadakan perlawanan terhadap penguasa baru. Penguasa baru
Laos di samping menghadapi golongan nasionalis juga masih menghadapi
serangan-serangan dari suku Meo yang tidak mau tunduk pada penguasa Pathet Lao.
Pada perkembangan selanjutnya suku Meo dan golongan kanan bergabung melawan
penguasa Pathet Lao. Dari Bangkok tanggal 7 Januari 1976 diberitakan bahwa
tentara dari suku Meo telah menyerang dan menewaskan enam tentara Pathet Lao di
daerah pegunungan dekat Vientiane.
Sementara itu seorang pemimpin suku Meo mengatakan
kepada AFP di Bangkok tanggal 20 Januari 1976 bahwa :1) suku Meo sekarang
menguasai kembali daerah Long Chen; 2) suku Meo mempunyai 7.000-8.000 orang
tentara yang beroperasi di Laos dan diorganisir dalam kelompok-kelompok gerilya
kecil-kecil; 3) seku Meo mempunyai cukup persediaan suplai senjata. Tanggal 8
dan 9 maret gerilyawan Front Rakyat Laos yang anti komunis menyerang penjara
Tam Khe dekat Viantiane dan menewaskan 20 orang penjaganya. Surat kabar
Bangkok, Thairath tanggal 27 Maret 1976 memberikan bahwa:
1) gerilyawan anti komunis Laos telah membangun
pengkalan-pangkalan di pulau-pulau penting di Sungai Mekong antara Savanrakhat
dan Pakse; 2) sekitar 200 gerilyawan telah melakukan beberapa serangan terhadap
pasukan penguasa Pathet Lao; 3) gerilyawan-gerilyawan tersebut mempunyai
senjata- senjata yang baik dan amunisi yang cukup. Suatu pertempuran lain
terjadi di selatan Vientiane tanggal 23 Maret 1976 antara pasukan Pathet Lao
dan gerilyawan anti Komunis mengakibatkan empat tentara Pathet Lao tewas dan
dua buah instalasi artelari di Simmano dan Khoyaideng hancur. Sedang di
desa-desa sebelah timur Viantiene tanggal 21 Maret 1976 gerilyawan anti komunis
menghadang iringan militer Pathet Lao dan menewaskan lima tentara Pathet Lao.
Dua granat yang hendak meledak di Keduataan besar Uni Soviet tanggal 13 Maret
1976 mengakibatkan empat diplomat Uni Soviet luka-luka. Kemudian segerombolan
penyerang melemparkan dua granat ke Keduataan Besar Kuba tanggal 3 April 1976.
dari Bangkok tanggal 16 April 1976 diberitakan bahwa gerilyawan anti komunis
Laos yang menemakan dirinya Front Patriotik Revolusioner Laos (LRPF) telah
menyatakan bertanggungjawab atas serangan-serangan terhadap kedua kedutaan
tersebut.
Lewat selebaran-selebaran, kelompok ini menyatakan
bahwa: 1) pihak Uni Soviet dengan terang-terangan telah memberdayakan rakyat
Laos untuk menjadikan kerajaan Laos sebagai satelit Uni Soviet; 2) LRPF akan
melancarakan serangan terhadap orang-orang Uni Soviet di negara0negara yang
menandatangani persetujuan Jenewa tahun 1954 yang menjamin netralitas Kerajaan
Laos dibawah dwi ketua Uni Soviet dan Inggris. Untuk menanggulangi
serangan-serangan dari gerilyawan nasionalis pemerintah Laos secara
terus-menerus berusaha membasmi gerakan-gerakan itu. Dari Bangkok tanggal 4
April diberitakan bahwa pemerintah Laos telah mengoperasikan pesawat-pesawat
tempur pembom buatan AS, T-28, untuk menghancurkan perlawanan gerilyawan
nasionalis di Laos Utara.
Radio Laos tanggal 20 Maret mengecam perbuatan
sabotase, subversi dan pengrusakan yang dilakukan golongan anti revolusioner,
dan mendesak rakyat serta Angkatan Bersenjata untuk memperkuat keamanan dan
memepertinggi kewaspadaan. CIA telah mengorganisir golongan tersebut dan berusaha
menjadikan Muangthai sebagai pangkalan anti Laos. Seorang bekas perwira Laos
yang lari ke Muangthai menyatakan di Nong Khai tanggal tanggal 6 Mei 1976 bahwa
Pathet Lao sedang memperbaiki semua pesawat-pesawat tempur dan transportasi
yang ditinggalkan oleh bekas Angkatan Udara Laos untuk mempersiapkan operasi
militer besar-besaran guna menghadapi beberapa gerakan gerilyawan yang telah
muncul di beberapa daerah di Laos. Unutk itu, ahli-ahli mesin Pathet Lao yang
belajar selama tiga tahun di Uni Soviet telah kembali ke Laos.
Seorang pemimpin suku Meo menyatakan di Bangkok
tanggal 22 Juli 1976 bahwa ratusan gerilyawan suku Meo telah tewas akibat
pemboman Pathet Lao di daerah Long Cheng (200 km sebelah timur Vientiane),
sasaran pemboman tersebut sebenarnya Muong Cha, Pha Oio, Phi Khaio dan Pha
Khas, serta sebuah pesawat intai dan holikopter Pathet Lao yang dikemudikan
oleh pilot-pilot Uni Soviet berhasil di tembak jatuh. Suku Meo dan rakyat Laos
yang anti komunis terus melancarkan perlawanan dengan nama “Tentara Anak
Surga”.
Perpecahan terjadi antara golongan ekstrim yang di
pimpin oleh PM Kaysone Phomvihan dan kelompok moderat yang dipimpin oleh
Presiden Souphanouvong. Jumlah suku Meo yang mengungsi ke Muangthai saat itu
diperkirakan 40.000 orang. Sekitar 500 tahanan politik melarikan diri dari
penjara Vientiane pada tanggal 25 April 1976 setelah berhasil merebut
senjata-senjata dari gudang penjara dan menewaskan 12 orang penjaganya. Bong
Souvannavong, bekas politikus terkemuka Laos dan Pangeran Sonk Banavong
termasuk diantara para tahanan yang melarikan diri. Tanggal 26 April 1976
penguasa Laos menyatakan berlakunya jam malam di Vientiane utnuk mencari para
tahanan yang melarikan diri.
Sementara itu beberapa tahanan yang sampai di
Muangthai menyatakan bahwa sekitar 100 tahanan telah terbunuh. Untuk mncegah
masuknya para tahanan, Muangthai telah menutup dua pos perbatasan dan
menghentikan lalu lintas ferry di Sungai Mekong. Pada tanggal 27 April 1976 di
sungai Mekong terjadi pertempuran antara Pathet Lao dan para tahanan yang
melarikandiri. Sampai pada tahun 1978 penguasa Muangthai telah menahan 50
tahanan yang berhasil menyeberangi sungai Mekong. Dikabarkan bahwa sekitar 150
tahanan masih bebas di Laos dan 180 orang lainnya ditangkap.
2.4.3 Kebijakan Dalam Negeri Pemerintahan Pathet
Laos
Sidang Majelis Rakyat Tertinggi pertama berlangsung
Di Vientiane tanggal 23 Desember 1975- 3 Januari 1976 dan memutuskan: 10
membuat rancangan konstitusi baru, rencana kerja Majelis serta program
pemerintah; 20 hari Nasional Laos tanggal 2 Desember 1976. dari Vientiane
tanggal 11 April 1976 diberitakan bahwa pemerintahan Laos telah memulai suatu
revolusi kebudayaan pertama. Untuk melaksanakan revolusi tersebut, diadakan
indoktrinasi-indoktrinasi khusus untuk para pemuda yang menganggur, para
perusuh, para pejudi, dan pecandu obat bius. Ratusan orang telah ditahan
termasuk orang-orang asing yang kebanyakan berasal dari Vietnam dan China
(Suara Karya, 12 April 1976). Radio Laos tanggal 11 Mei 1976 memberitakan bahwa
pemerintahan Laos telah membebaskan kelompok pertama bekas perwira-perwira
golongan kanan yang menjalani pendidikan kembali selama satu tahun. Mereka yang
dibebaskan itu ditugaskan kembali dan di satukan ke dalam resimen baru. Masalah
kehidupan beragama pada awal tahun 1976 agak ramai dibicarakan.
Partai komunis yang berkuasa telah mengecam agama
Katolik sebagai agama yang mendatangkan gaya hidup Barat yang tidak sesuai
dengan situasi Laos dan sering dijadikan alat CIA. Pernyataan pemerintah baru
tanggal 6 April 1976 menyatakan bahwa agama budha adalah agama baik dan telah
memainkan peranan penting dalam perjuangan untuk menanamkan dan membangun
Negara. Perayaan dan keramaian tahun baru Laos akan diselenggarakan pada
tanggal 13-15 April setiap tahun. Wakil menteri Urusan Dalam Negeri Kolonel
Deuan Soun Rhen mengatakan di Vientiane tanggal 23 April 1976 bahwa pemerintah
Laos menyambut baik segala bantuan dari setiap Negara, organisasi atau individu
manapun untuk membantu Negara menyembuhkan luka-luka perangnya. Pemerintahanya
juga akan meneruskan kampanye utnuk memberantas korupsi. Tanggal 15 Juni 1976
pemerintah Laos memperkenalkan mata uang baru yang bernama KIP Front Pembebasan
Laos dengan nilai 1.200 KIP untuk sati US$.
2.4.4
Kebijakan Luar negeri pemerintahan Pathet Laos
Untuk mencari dukungan dan bantuan keuangan guna
membiayai perekonomian dalam negeri, penguasa baru Laos mengusahakan
bantuan-bantuan dari luar negeri, baik melalui diplomasi tak langsung maupun
langsung. Suatu kunjungan resmi PM Kaysone Phomvihan ke RRC berlangsung tanggal
15-24 Maret 1976. tanggal 16 Maret pejabat PM Hua Kuo-feng mengatakan bahwa
pemimpin-pemimpin Laos hendaknya berhati-hati terhadap Negara-negara besar yang
disatu pihak mengatakan peredaan ketegangan tetapi di lain pihak meluaskan pengaruhnya
dimana-mana. Kaysone Phomvihan megatakan bila RRC berpendapat bahwa Uni Soviet
merupakan Negara paling berbahaya, maka pendapat itu keliru karena musuh Laos
bukan Uni Soviet tetapi imperialis Amerika Serikat.
Tanggal 18 Maret PM Kaysone dan pejabat PM Hua
Kuo-feng menandatangani suatu perjanjian kerjasama ekonomi dan tknik, yang
menetapkan RRC untuk terus memberikan pinjaman-pinjaman bebas bunga kepada
Laos. Sebuah sumber dari Laos mengatakan bahwa RRC telah memberikan pinjaman
baru untuk melanjutkan proyek-proyek pembangunan yang sedang berjalan termasuk
jaringan jalan raya. PM Kaysone tiba di Moskwa pada tanggal 20 April 1976 utnuk
suatu kunjungan resmi. PM Alexei Kosygin menyatakan bahwa salah satu tujuan
politik luar negeri Uni Soviet adalah menjamin keamanan di Asia atas
usaha-usaha bersama dengan Negara-negara dibenua tersebut. Kunjungan delegasi
Laos tersebut akan mempererat hubungan dua Negara. Tanggal 21 April 1976 PM
Kaysone mengadakan pembicaraan dengan PM Alexei Kosygin, Menteri Luar Negeri
Andrei Greckho, Menteri Pertahanan Marsekal Andrei Gromyko, dan seorang anggota
Polit Biro Partai Komunis Uni Soviet, Michail Suslov mengenai pengukuhan ikatan
persahabatan kedua Negara. Di Moskwa tanggal 22 April 1976 ditandatangani tiga
perjanjian yaitu:
1.
Persetujuan Kerjasama Kebudayaan dan
Ilmiah yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Andrei Gromyko dan Menteri
Luar Negeri Phun Sipaset.
2.
Perjanjian Perdagangan, Peredaran
Perdagangan dan Pembayaran-pembayaran yang ditandatangani oleh Menteri
Perdagangan Luar Negeri Uni Soviet, Nikolai Patulichev dan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Laos, Maisuk Sarempheng.
3.
Sebuah pernyataan bersama yang isinya
tidak diumumkan serta ditandatangani oleh PM Kaysone dan PM Alexei. PM Kaysone
Phomvihane pada tanggal 4 September 1976 berangkat menuju ke Uni Soviet, Kuba,
Honggaria, Rumania, Polandia, Cekoslowakia dan Bulgaria untuk suatu kunjungan
persahabatan dan mempererat hubungan bilateral.
Dalam komunikasi bersama di Havana pada tanggal 17
September 1976, Laos dan Kuba menyatakan bahwa: pasukan Amerika Serikat yang
masih ada di Asia Tenggara agar segera ditarik dan seluruh pangkalan Amerika
Serikat di wilayah itu agar segera dibongkar, pasukan asing agar ditarik dari
Korea Selatan, usul bagi terciptanya wilayah damai di Samudra Hindia perlu
didukung, kedua Negara menyampaikan rasa solidaritas kepada rakyat Namibia,
Zimbabwe, dan Afrika Selatan, serta mendukung perjuangan Mozambik untuk
mengakhiri rencana-rencana dan tindakan-tindakan agresif kaum imperialis dan
rasialis, satu-satunya pemecahan adil dalam penyelesaian masalah Timur Tengah
adalah penarikan seluruh tentara Israel dari wilayah-wilayah yang secara tidak
sah merebut wilayah Palestina pada tahun 1967 dan melindungi hak-hak
fundamental rakyat Palestina. kedua Negara mendukung perjuangan Negara-negara
Non-blok. Kepala Kementerian Luar Negeri Laos, Soubanh Srithirat, menyatakan di
Vientiane pada tanggal 21 April 1976 bahwa Laos membutuhkan bantuan dari semua
Negara sahabat, terutama Prancis. Hubungan Laos dan Prancis akan segera
diperbaiki, terutama yang menyangkut kerjasama ekonomi, kebudayaan, dan teknik.
Sementara itu bantuan dari pemerintah Belanda yang berupa 32 ton obat-obatan,
gula, dan mesin-mesin tiba di Vientiane pada tanggal 9 Januari 1976.
Timbul berbagai problema lain yang harus dihadapi.
Problema itu antara lain karena Laos tidak memiliki daerah pantai sebagai
pelabuhan. Sebab jalur-lalulintas perekonomiannya melewati Muangthai. Kedua
Negara ini saling berbatasan dan bersahabat sebelum Pathet Lao berkuasa di
Laos. Tetapi hubungan ini semakin memburuk sejak Laos jatuh ketangan Komunis.
Padahal Muangthai mengambil politik anti Komunis. Masalah lain yang dihadapi
Laos adalah tidak dimilikinya tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman di berbagai
bidang. Sebab semenjak Pathet Laoberkuasa banyak tenaga yang memiliki keahlian
dan berpengalaman melarikan diri ke Muangtahi. Sehingga Laos kehilangan
tenaga-tenaga yang potensial. Dalam situasi yang seperti itu, merupakan
kesempatan yang sangat tepat bagi Vietnam untuk memperbesar pengaruhnya dengan
jalan memberi bantuan. Pengaruh itu telah diteguhkan pada waktu PM Pham Van
Dong, sekjen partai Komunis Vietnam Le Duan dan wakil menteri pertahanan Letjen
Chu Huy Man, mengunjungi Vientiane.
Pada tanggal 18 Juli 1979 telah ditandatangani
Deklarasi Bersama yang berisi antara lain:
1.
Persetujuan militer, maksudnya Laos akan
dibelah oleh Vietnam dalam menghadapi ancaman dari luar. Ancaman dari luar ini
ditujukan pada Muangthai. Konflik perbatasan antara kedua Negara ini menjadi
semakin meningkat. Di Laos sendiri telah didatangkan pasukan Vietnam dalam jumlah besar yakni sekitar 50.000
orang.
2.
Persetujuan ekonomi. Hal ini dimaksudkan
bahwa Laos mengekspor produksinya tidak lagi melalui Muangthai tetapi melalui
pelabuhan Danang di Vietnam bagian Selatan, dan diangkut ke Danang melalui
darat dengan segala peralatan yang cukup modern. Selain itu, delapan battalion
tenaga pembangunan Vietnam Utara bersama sekitar 3.000 pemuda Laos sedang
membangun sebuah jalan raya dari Laos Utara ke delta sungai Mekong dibawah
petunjuk tenaga-tenaga teknisi Uni Soviet. Jalan raya sepanjang 330 km tersebut
akan memanjang melewati lembah Tempayan sebuah daerah strategis.semua bahan
bangunan didatangkkan dari Uni Soviet.
3.
Mengenai ASEAN. Kedua belah pihak baik
Vietnam maupun Laos mengutuk keras usaha-usaha Amerika Serikat yang
mempergunakan ASEAN untuk menentang arus kea rah kemerdekaan yang sejati,
perdamaian serta kenetralan di kawasan Asia Tenggara. Vietnam dan Laos sepakat
bahwa usaha-usaha yang dilakukan para penguasa Negara-negara anggota ASEAN guna
memperkuat persekutuan militer bilateral dantara mereka dengan papan nama anti
komunis, berarti akan mengubah ASEAN menjadi persekutuan militer secara de
facto. Dengan demikian berarti akan melawan aspirasi rakyat yang menginginkan
kemerdekaan sejati.
Hal
ini mengandung bahaya dan akan membuat Asia Tenggara dalam situasi yang tidak
stabil, demikian menurut penilaian Negara-negara sosialis Indo-China.
Pernyataan melalui deklarasi bersama antara Laos dan Vietnam itu jelas ingin
mempengaruhi pendapat yang berkembang dalam konferensi puncak ASEAN di Kuala
Lumpur pada bulan Agustus 1979. dalam kenyataan, secara materiil memang ada
pengelompokan dua kekuatan di Asia Tenggara yakni ASEAN dan Negara-negara
Indo-China yang dibentengi Vietnam. Vietnam tahu bahwa ASEAN akan membuat
sejarah baru lagi di Kuala Lumpur dan akan mendapat perhatian besar dari dunia
internasional. Oleh karena itu Vietnam telah membuat gerakan dan Isue-isue
dengan suatu harapan agar dapar mempengaruhi pandangan internasional mengenai
situasi Asia Tenggara yang tidak stabil ini dinilai akibat langkah
Negara-negara ASEAN yang didukung oleh Negara-negara besar.
Sehubungan dengan itu, maka ASEAN menilai perjanjian persahabatan dan
kerjasama Vietnam-Laos pada tanggal 18 Juli 1979 itu tidak lain merupakan
perjanjian militer dalam rangka melaksanakan prinsip komunisme yang ingin
mengkomunismekan Negara-negara tetangga yang belum komunis. Sehingga kedudukan
Muangthai dalam hal ini sangat terancam. Apalagi dengan berbagai pernyataan
dengan Negara-negara lain bahwa Vietnam akan selalu mendukung setiap gerakan
komunis di Asia Tenggara yang ingin memperoleh kemerdekaan sejati, perdamaian,
dan kehidupan yang demokratis. Pernyataan ini memberikan kesan bahwa menurut
pandangan Indo-China, Negara non- komunis di Asia Tenggara ini belum mencapai
kemerdekaan yang sejati. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan aspirasi
rakyat di masing-masing Negara.
Vietnam
menamakan Laos sebagai zone terdepan serta memendang dirinya sendiri sebagai
benteng sosialisme dan perdamaian di Asia Tenggara. Hal ini sebagai suatu
indicator bahwa ada semacam persiapan agresi terhadap Negara-negara tetangga.
Kunjungan delegasi Vietnam ke Laos yang melahirkan persetujuan damai itu,
menunjukkan semakin kuatnya pengaruh rezim Hanoi di kawasan Indo-China. Tetapi
bagi rezim Hanoi yang dibimbing oleh cita-cita Ho Chi Minh, tidak puas sampai
di Laos. Kamboja masih merupakan masalah yang harus di selesaikan. Sebab
Kamboja dibawah kekuasaan Khmer Merah menolak pengaruh Vietnam, bahkan keduanya
memiliki orientasi berbeda.
Di bulan Maret 1991, Pada kongres ke lima dari
Partai Rakyat Revolusioner, perubahan jangka panjang dari struktur ekonomi
negara ini diputuskan. Seperti di Cina dan Vietnam, perusahaan-perusahaan
swasta, persaingan pasar bebas dan penanam modal asing diijinkan, agar dapat
mempercepat perkembangan ekonomi di negara ini. Bagaimanapun, sama seperti di
China dan Vietnam, pemimpin politik tetap tidak diperbolehkan untuk membagi
kekuasaan dalam sistem multi partai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indo-China
pada dasarnya terdiri atas Vietnam Utara ( RDV ), Vietnam Selatan, Laos dan
Kamboja. Laos merupakan salah satu kawasan yang tergabung dalam Indo-China.
Kebudayaan di Laos pun mendapatkan pengaruh budaya India ( Hindu-Budha), yang
jelas berbeda dengan Vietnam yang nantinya melakukan perluasan kekuasaan ke
daerah Laos. Laos menjadi wilayah imperium Bangsa Barat yaitu Perancis akibat
wilayah Vietnam yang jatuh ke tangan Perancis. Karena Laos merupakan bagian
dari Indo-China, maka Laos beserta Kamboja nantinya akan terkena imbas dari
pengeksploitasian bangsa Perancis.
Pada tanggal 1 September 1945, negara Laos
menyatakan kemerdekaannya. Perancis menolak untuk menerima hal tersebut, dan
membalas dengan mengirim pasukannya ke Laos. Perang gerilya berawal ketika
tentara Laos melawan kekuatan kolonial Perancis. Tiga orang pangeran yang
terkenal melawan penjajah adalah
1. Pangeran
Souvanna Phoma( Jalan Tengah ),
2. Pangeran
Souphanavong ( Komunis )
3. Pangeran
Oune Sananikone ( Nasionalis ).
Pathet
Lao memiliki cita-cita mendirikan rezim republik komunis di tanah Laos
menggantikan rezim kerajaan buatan Prancis. Karena faktor kedekatan ideologi,
Pathet Lao dalam perkembangannya juga kerap bekerja sama dengan kelompok Viet
Minh pimpinan Ho Chi Minh yang bermarkas di Vietnam Utara.
Suku Meo dan rakyat Laos yang anti komunis terus
melancarkan perlawanan dengan nama “Tentara Anak Surga”. Perpecahan terjadi
antara golongan ekstrim yang di pimpin oleh PM Kaysone Phomvihan dankelompok
moderat yang dipimpin oleh Presiden Souphanouvong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar