Kamis, 10 Oktober 2019

Makalah Peranan UNHCR Dalam Melindungi Pengungsi

DAFTAR ISI


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………… 4

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengungsi di Indonesia…………………………………………………………………. 5
B. Peran UNHCR di Indonesia………………………………………………………...…. 5
1. Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD).................... 6
2. Solusi Permanen Terhadap Pengungsi yang Ditawarkan UNHCR............................. 7
C. Kerjasama UNHCR dan Pemerintah Indonesia............................................................ 8

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................................... 10
B. Saran.................................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 12









KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. 

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapa pun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.




Samarinda, Februari 2018



DokumenQ










BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Dalam hal perlindungan internasional terhadap pengungsi, tujuan untuk mendapatkan suaka politik adalah perbuatan yang legal dan merupakan bagian dari hak asasi manusia.Deklarasi Universal HAM 1948 pasal 14 ayat 1 menyebutkan tentang setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negara lain untuk melindungi diri dari pengejaran.

Hak atas kebebasan ini dipertegas lagi dalam Declaration of Territorial Asylum 1967 yang menyatakan bahwa : 

1) Setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain karena kekhawatiran mengalami penyiksaan.

2) Hak ini tak dapat dimohonkan dalam kasus-kasus yang sifatnya non politis ataupun karena tindakan-tindakan yang bertentangan dengan maksud dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam piagam PBB.

Kedua deklarasi ini mempertegas bahwa pengungsi yang berhak mendapatkan suaka adalah mereka yang mengalami ketakutan dan kekhawatiran akan menjadi korban dari suatu penyiksaan/penganiayaan di negaranya, sehingga memilih untuk mencari perlindungan (suaka) ke negara lain. Namun, permohonan suaka ini dibatasi hanya untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik dan tidak untuk selainnya. Apalagi apabila permohonan tersebut berlawanan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB. 

Ada banyak definisi tentang pengungsi, dari yang paling sempit sampai yang paling luas. Apabila dilihat dari definisi secara harfiah atau bahasa, istilah pengungsi internasional adalah mereka yang lari dari suatu daerah, yang karena ruang lingkupnya internasional, maka mereka melarikan diri dari suatu negara untuk kemudian memasuki wilayah Negara lainnya untuk mencari pengungsian. Adapun syaratnya mereka dikatakan sebagai pengungsi internasional secara harfiah adalah mereka haruslah melewati batas wilayah suatu negara ke Negara lainnya. Karena apabila mereka tidak melewati batas wilayah negaranya maka bisa dikatakan sebagai pengungsi lokal. Secara harfiah, istilah ini tidak dibedakan alasan mereka pergi dari negaranya, apakah karena alasan perang, bencana alam, ataupun karena alasan ekonomi. Istilah ini menjadi berbeda apabila didefinisikan secara legal atau hukum.

Setelah Perang Dunia II, negara-negara anggota PBB mendorong lahirnya apa yang sekarang dikenal sebagai Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Pada mulanya, konvensi ini diterapkan untuk mereka yang mengungsi di Eropa sebelum tahun 1951. Pada tahun 1967, sebuah protokol untuk Konvensi ini telah menghapuskan pembatasan waktu dan tempat yang dirumuskan sebelumnya. Konvensi ini merumuskan pengungsi sebagai orang yang memiliki rasa takut yang beralasan akan adanya penganiayaan yang berdasarkan atas ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan politik, yang berada di luar negara asalnya, dan tidak dapat atau karena rasa takutnya, tidak bersedia menerima perlindungan dari negaranya.

Karena definisi di atas hanya berlaku bagi orang-orang yang takut terhadap penganiayaan, organisasi-organisasi regional baik di Afrika (Persatuan Afrika 1969) maupun di Amerika Latin (Organisasi Negara-negara Amerika 1984) telah memperluas definisi tersebut yang mencakup pula pengungsian masal yang terjadi sebagai akibat dari kehancuran sosial maupun ekonomi dalam konteks konflik.

Dalam hukum, mereka yang mencari pengungsian di negara lain justru dikatakan sebagai pencari suaka (asylum seeker), bukan pengungsi internasional. Status Pengungsi Internasional justru diberikan setelah dia dinyatakan layak menyandang status sebagai pengungsi internasional oleh mereka yang kompeten memberikan status tersebut. Dalam hal pemberian status tersebut kita mengenal dua pihak, yaitu United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) bagi negara yang belum meratifikasi konvensi mengenai pengungsi internasional ataupun suatu negara itu sendiri apabila dia sudah meratifikasi konvensi tersebut. Dalam hal ini Indonesia merupakan salah satu Negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967, dengan demikian pemerintah Indonesia memberikan wewenang bagi UNHCR untuk menjalankan aktivitas mandatnya di Indonesia.

UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) atau Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi adalah suatu badan yang bemarkas di Kota Jenewa, Swiss. Badan ini didirikan pada tanggal 14 Desember 1950, bertujuan untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi berdasarkan permintaan sebuah pemerintahan atau PBB kemudian untuk mendampingi para pengungsi tersebut dalam proses pemindahan tempat menetap mereka ke tempat yang baru. Di tahun berikutnya, pada 28 Juli, Konvensi PBB tentang Status Pengungsi, sebuah dasar hukum dalam membantu pengungsi dan statuta dasar yang mengarahkan kerja UNHCR, dicetuskan. Badan ini menggantikan Organisasi Pengungsi Internasional dan Badan PBB untuk Administrasi Bantuan dan Rehabilitasi. 

Badan itu diberi mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan langkah-langkah internasional untuk melindungi pengungsi dan menyelesaikan permasalahan pengungsi di seluruh dunia. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak-hak para pengungsi. Badan ini memastikan setiap pengungsi mendapatkan hak untuk memperoleh perlindungan. 

Pada tahun 1956, UNHCR mengalami keadaan darurat terbesarnya yang pertama, dimana jumlah pengungsi mengalami peledakan dikarenakan Soviet yang menghancurkan Revolusi Hongaria. Segala teori yang menyebutkan bahwa UNHCR tidak dibutuhkan, tidak lagi mengemuka. Pada tahun 1960-an, dekolonisasi Afrika menyebabkan krisis pengungsi dalam jumlah terbesar dalam benua tersebut hingga membutuhkan intervensi UNHCR. Selama dua dekade berikutnya UNHCR membantu mengatasi pergerakan manusia di Asia dan Latin Amerika. Pada akhir abad, terdapat permasalahan pengungsi baru di Afrika, menjadikan adanya siklus yang berulang dan membawa gelombang pengungsi baru di Eropa menyusul serangkaian perang di daerah Balkan.

Pada awal abad 21, UNHCR telah membantu berbagai krisis pengungsi terbesar di Afrika seperti di Republik Demokrat Kongo dan Somalia, serta di Asia, terutama dalam permasalahan pengungsi di Afghanistan yang berlangsung selama 30 tahun. Pada saat yang sama, UNHCR diminta untuk menggunakan keahliannya untuk mengatasi permasalahan pengungsi internal yang disebabkan oleh konflik. Disamping itu, peran UNHCR juga meluas hingga menangani bantuan bagi orang – orang tanpa kewarganegaraan, sebuah kelompok orang yang berjumlah jutaan namun tidak kasat mata, sementara mereka menghadapi bahaya kehilangan hak – hak dasarnya karena tidak memiliki kewarganegaraan. Di beberapa bagian dunia seperti Afrika dan Amerika Latin, mandat awal UNHCR yang ditetapkan pada tahun 1951 telah diperkuat dengan adanya perjanjian tentang instrumen hukum regional.

Kehadiran UNHCR di Indonesia ditandai dengan , terjadinya perang saudara di Semenanjung Indo-china, seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar pada tahun 1974. Perang yang cukup lama ini memakan ribuan korban jiwa, dan mereka yang tidak ingin menjadi korban berikutnya pun akhirnya memilih lari dari negara mereka berasal. Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN dan yang cukup dekat jaraknya dengan negara mereka akhirnya menjadi salah satu destinasi atau tujuan dari pengungsian tersebut. Direncanakan atau tidak, hanya dilewati ataukah terkena angin atau bagaimana, tibalah mereka di beberapa pulau di Indonesia, kondisi mana yang akhirnya nanti disepakati untuk dibangun suatu processing centre di salah satu pulau untuk khusus menangani permasalahan pengungsian ini. Meskipun Konvensi mengenai pengungsi Internasional sudah ada sejak tahun 1951, karena satu dan lain hal, hingga akhir tahun 1970-an tersebut, Indonesia belum juga ikut sebagai pihak konvensi. Hal ini mengakibatkan Indonesia tidak memiliki suatu know-how skill bagaimana cara menangani dan melakukan pendaftaran serta pemberian status kepada para pengungsi ini.

Pada tahun 1981, dengan berbagai inisiatif, diundanglah UNHCR untuk membuka kantor cabang di Indonesia, dan Indonesia melalui berbagai pertemuan dengan negara-negara ASEAN sepakat bahwa pulau Galang dijadikan sebagai Processing Centre sementara, dengan berbagai persyaratan. Processing Centre ini pun akhirnya selesai digunakan dan ditutup pada medio 1990-an. Hingga sekarang situs bersejarah tersebut masih dikenal sebagai tempat wisata dengan nama kamp pengungsi Vietnam.

Pada akhir tahun 2010, tercatat kurang lebih 3.000-an pencari suaka datang ke Indonesia untuk mendapatkan status sebagai pengungsi internasional yang mana untuk kemudian dilanjutkan dengan ditempatkan di Negara ketiga seperti Amerika Serikat dan Australia.

Sesuai dengan perkembangan zaman, UNHCR juga menghadapi banyak masalah – masalah terbaru terkait dengan permasalahan pengungsi di Indonesia. Kedatangan yang dulunya didominasi oleh para pencari suaka dari daratan Indo-China, saat ini sudah mulai didominasi oleh negara-negara Timur Tengah seperti Afghanistan, Iran, dan Irak dengan tidak menutupi fakta adanya kedatangan pencari suaka dari dataran Afrika seperti Kongo dan Asia seperti Sri Lanka dan Myanmar. Kesemua ini mencari peruntungan dengan mengikuti proses pencarian suaka melalui UNHCR, dan karena Indonesia belum meratifikasi konvensi maka kehadiran UNHCR merupakan salah satu faktor pembantu dalam menyelasaikan permasalahan pengungsi internasional.



B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, rumusan masalah yang ingin penulis kemukakan pada tulisan ini adalah :

1. Sejauhmana peran UNHCR dalam menangani masalah pengungsi yang ada di Indonesia?

2. Bagaimana bentuk kerjasama antar pemerintah Indonesia dengan UNHCR dalam menangani masalah pengungsian yang ada di Indonesia?







BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengungsi di Indonesia

Masuknya para pengungsi ke wilayah Indonesia yang jumlahnya cenderung meningkat dapat menimbulkan gangguan kehidupan sosial, politik, keamanan dan ketertiban masyarakat. Apalagi jika keberadaan mereka disusupi oleh kegaitan teroris internasional, traffiking in person atau kegiatan kriminal lainnya. Pergerakan dan perpindahan manusia sebagai individu atau kelompok akan mempunyai dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif pada individu atau kelompok penerima. 

Arus pengungsian ke wilayah Indonesia terus terjadi dari tahun ke tahun. Hal ini terjadi dikarenakan adanya faktor – faktor pendorong dan penarik para pengungsi tersebut ke wilayah Indonesia. Adapun faktor – faktor tersebut antara lain :

Ad. 1 Faktor Pendorong

a. Konflik yang berkepanjangan di negara asal terkait dengan aspek politik, keamanan, sukuisme, dll.

b. Keadaan ekonomi dan kampung halaman yang buruk sebagai akibat dari konflik tersebut (keinginan untuk memperoleh kehidupan yg lebih baik).

c. Bujukan dari agen penyelundupan manusia.

Ad. 2 Faktor Penarik

a. Letak geografis Indonesia sangat strategis untuk melintas ke Australia (didukung dengan kelemahan bidang keamanan dan pengawasan perbatasan RI)

b. Tersebarnya info bahwa UNHCR di Indonesia melakukan RSD lebih cepat dari UNHCR di Malaysia (jumlah imigran ilegal berstatus pencari suaka & pengungsi maupun yg telah ditolak & belum terdaftar di Malaysia lebih dari 40 ribu orang, di Indonesia “hanya” ± 2 ribu orang).

c. Kultur Masyarakat Indonesia yang terkesan “dapat menerima” pendatang baru (mayoritas muslim).

B. Peran UNHCR di Indonesia

UNHCR merupakan organisasi internasional dengan keanggotaan yang universal dan mandate yang khusus. Hal ini bermakna bahwa UNHCR terdiri dari dua atau lebih Negara sebagai anggotanya yang memiliki satu visi yang sama dan memfokuskan tugasnya untuk menangani permasalahan pengungsi dunia. Para anggota merupakan representative dari negaranya yang tidak terikat dengan kondisi politik negaranya, sehingga UNHCR dan aktivitas yang dijalankannya dapat bersifat non politis, dan sepenuhnya berkonsentrasi pada tugas – tugas kemanusiaan.

UNHCR telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1979, saat ini berkantor pusat di Jakarta dan memiliki perwakilan di Medan, Tanjung Pinang, Makassar, Kupang dan Pontianak. Pada masa awal berdirinya, aktivitas UNHCR berfokus pada penanganan kedatangan pengungsi Vietnam dengan kapal dalam jumlah besar, seperti yang termaktub dalam Comprehensive Plan of Action (CPA), sebuah rencana aksi yang dicetuskan pada 14 Juni 1989 oleh negara-negara anggota yang mengikuti Konferensi Internasional tentang Pengungsi Indo-Cina. Adapun tanggungjawab khusus UNHCR dalam menangani pengungsi Indo-Cina dirumuskan dalam CPA tersebut. Pada tahun 1979, pemerintah Indonesia memberikan otorisasi untuk pendirian kamp pengungsian di Pulau Galang, yang mengakomodir lebih dari 170,000 pengungsi hingga pada saat kamp tersebut ditutup pada tahun 1996.

Indonesia belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967, dan belum memiliki sebuah sistem penentuan status pengungsi. Dengan demikian, pemerintah memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia.

Berada diantara negara – negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam jumlah besar seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara berkelanjutan Indonesia terkena dampak dari pergerakan populasi tercampur (mixed population movements). Meskipun jumlah kedatangan baru pencari suaka yang tinggi telah menjadikan masalah suaka/ migrasi sebagai salah satu faktor penting dalam bidang keamanan Negara (385 di tahun 2008; 3,230 pada tahun 2009; 3,905 pada tahun 2010 dan 4,052 di tahun 2011, dengan sebagian besar pendatang berasal dari Afghanistan, Iran, Iraq, Myanmar, Pakistan, Somalia dan Sri Lanka) pencari suaka dan pengungsi tetap memperoleh perlindungan atas pemulangan paksa dan tetap diberikan akses ke UNHCR.

Perlindungan yang diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan pencari suaka terlindung dari refoulement (yakni perlindungan dari pemulangan kembali secara paksa ke tempat asal mereka dimana hidup atau kebebasan mereka terancam bahaya atau penganiayaan). Perlindungan pengungsi lebih jauh mencakup proses verifikasi identitas pencari suaka dan pengungsi agar mereka dapat terdaftar dan dokumentasi individual dapat dikeluarkan.

Sampai dengan akhir Februari 2013, sebanyak 1.938 pengungsi terdaftar secara kumulatif di UNHCR Jakarta. Mereka berasal dari Afghanistan (48%), Myanmar (12%), dan Sri Lanka (11%). UNHCR bersama dengan para mitranya mempromosikan aktivitas perlindungan dan program bantuan untuk memastikan kebutuhan dasar para pengungsi dan pencari suaka terpenuhi selama mereka menantikan solusi jangka panjang yang paling tepat

1. Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD)

Pencari suaka yang telah terdaftar kemudian dapat mengajukan permohonan status pengungsi melalui prosedur penilaian yang mendalam oleh UNHCR, yang disebut sebagai Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD). Prosedur ini antara lain meliputi :

1) registrasi atau pendaftaran terhadap para pencari suaka.

2) wawancara (interview) secara individual dalam bahasa ibu para pencari suaka oleh seorang staff RSD dan dibantu oleh seorang penerjemah ahli berkompeten, yang akan menilai keabsahan permintaan perlindungan yang diajukan.

3) selanjutnya pencari suaka akan diberikan keputusan, apakah status pengungsi diberikan atau tidak kepadanya, beserta dengan alasannya.

Mereka yang teridentifikasi sebagai pengungsi akan menerima perlindungan selama UNHCR mencarikan solusi jangka panjang, yang biasanya berupa penempatan di negara lain. Untuk tujuan ini, UNHCR berhubungan erat dengan negara – negara yang memiliki potensi untuk menerima pengungsi. Apabila permintaan untuk perlindungan ditolak, prosedur dalam RSD memberlakukan satu kesempatan untuk pengajuan ulang (banding).

2. Solusi Permanen Terhadap Pengungsi yang Ditawarkan UNHCR

Sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 Statuta UNHCR, salah satu fungsi UNHCR adalah mencari solusi permanen bagi mereka yang mendapatkan status pengungsi. UNHCR akan mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yang memungkinkan, yaitu:

1) Pemulangan sukarela (Repatriation)

Syarat yang diperlukan untuk pemulangan pengungsi secara seukarela ke Negara asalnya aalah keamanan dan pulihnya perlindungan nasional. Jika keduanya belum ada, seringkali pemulangan pengungsi hanya bersifat sementara.

2) Penempatan di negara ketiga (Resettlement)

Pemindahan pengungsi ke Negara ketiga ini merupakan alat perlindungan terhadap pengungsi yang hidup, kebebasan, keamanan, kesehatan dan hak fundamental lainnya menghadapi resiko di Negara suaka. Resettlement merupakan bentuk berbagi beban dan tanggung jawab antara para peserta Konvensi 1951

3) Integrasi lokal

Dalam integrasi lokal, Negara suaka menawarkan agar pengungsi dapat tinggal secara permanen di wilayahnya. Sehingga ada kemungkinan naturalisasi kewarganegaraan pengungsi. Integrasi lokal terjadi melalui beberapa tahapan :

a) Pengungsi mendapat hak yang semakin luas, sehingga sama dengan yang dinikmati oleh warga Negara dari Negara suaka, kemudian pengungsi diijinkan tinggal secara permanen dan kemungkinan naturalisasi

b) Pengungsi semakin tidak bergantung dengan bantuan dari Negara suaka maupun bantuan kemanusiaan lainnya karena telah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri

c) Pengungsi berpartisipasi dalam kehidupan sosial di Negara barunya

Namun, solusi yang terakhir tidak berlaku di Indonesia karena pemerintah tidak memberikan izin tinggal secara Permanen di Indonesia bagi pengungsi. Penempatan di negara ketiga sejauh ini masih menjadi satu-satunya solusi bagi mayoritas pengungsi di Indonesia.

Dalam menjalankan solusi - solusi yang disebut di atas, UNHCR bekerjasama dengan pemerintah – pemerintah, organisasi, dan instansi swasta untuk memudahkan repatriasi secara sukarela para pengungsi dan reintegrasi ke Negara asal mereka, integrasi para pengungsi di Negara pemberi suaka atau di Negara pengungsi dimukimkan kembali (resettlement). Bila perlu UNHCR akan memberikan bantuan material untuk jangka waktu pendek.

C. Kerjasama UNHCR dan Pemerintah Indonesia

Indonesia belum menjadi Negara Pihak Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi atau Protokol 1967, dan Indonesia tidak memiliki kerangka hokum dan sistem penentuan status pengungsi. Sehubungan dengan keadaan tersebut, UNHCR menjadi badan yang memproses permintaan status pengungsi di Indonesia.

Penanganan pengungsi yang masuk ke Indonesia selama ini mengandalkan masalah penanganan pengungsi pada UNHCR. Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi tahun 1951 dan protokol tahun 1967, sehingga pemerintah sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah seseorang atau kelompok orang yang meminta status pengungsi, diakui sebagai pengungsi. Kewenangan tersebut dilakukan oleh UNHCR, tanpa campur tangan pemerintah.

Setiap pendatang yang masuk ke wilayah Indonesia, tentu akan terdeteksi oleh imigrasi. Maka secara umum mereka dikategorikan sebagai irregular migrant, sampai dengan petugas imigrasi menemukan beberapa pendatang yang mengaku sebagai refugee. Namun demikian, pemerintah melalui petugas imigrasi, tidak dapat menentukan status mereka sebagai refugee atau bukan. Karenanya mereka akan segera menghubungi UNHCR untuk dapat mewawancarai dan memeriksa latar belakang masuknya pengungsi tersebut ke wilayah Indonesia. Apabila ternyata orang tersebut memenuhi kategori sebagai pengungsi, maka kemudian UNHCR akan membantunya agar dapat diterima oleh negara ketiga. Selama menunggu kabar baik dari negara ketiga, setiap pengungsi memperoleh berbagai kebutuhan dasar dari UNHCR, termasuk tempat tinggal sementara.

Secara legal seolah-olah tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam Konvensi 1951 tentang Pengungsi. Tetapi pada bulan Desember tahun 1950 dengan sesuai resolusi statuta UNHCR 1950 telah diterima oleh Majelis PBB.

Dalam resolusi tersebut terdapat suatu seruan agar semua negara anggota PBB memberikan kerjasamanya kepada UNHCR dalam pelaksanaan kedua mandatnya, yaitu memberikan perlindungan internasional kepada pengungsi dan mencari solusi permanen bagi masalah pengungsi.

Implementasi dari seruan ini adalah bila ada yang mengaku pengungsi atau pencari suaka masuk ke Indonesia, maka kita melaksanakan resolusi tersebut dengan kerjasama, yaitu dengan cara memberitahukannya kepada UNHCR, sehingga tidak dapat semata-mata dilihat dari sudut pandang keimigrasian. Resolusi yang telah berumur 54 tahun ini dalam prakteknya di lapangan dianut oleh berbagai bangsa. Resolusi ini sudah menjadi hukum kebiasaan internasional sehingga semua negara baik pihak maupun bukan pihak mematuhinya.

Terkait dengan penanganan pengungsi internal atau Internally Displaced People (IDPs), yang telah berkembang secara luas di berbagai belahan dunia sebagai akibat dari bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia. Di Indonesia, sama seperti di Negara lain, UNHCR hanya memberikan perlindungan dan bantuan bagi IDPs apabila diminta oleh pemerintah. Seperti contoh, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh dan Nias pada tahun 2004 yang menewaskan lebih dari 200.000 ribu orang, UNHCR diminta oleh Pemerintah Indonesia untuk membantu ratusan ribu orang Indonesia yang harus mengungsi ke daerah lain yang lebih aman (namun tetap dalam wilayah Indonesia).

UNHCR menjalankan mandatnya dalam hal keadaan tanpa kewarganegaraan di Indonesia dengan cara melakukan berbagai aktivitas untuk mengidentifikasi populasi orang yang tidak memiliki kewarganegaraan yang mungkin ada dan untuk melihat celah – celah yang ada dalam peraturan yang berlaku yang mungkin mengarah kepada keadaan tanpa kewarganegaraan. UNHCR juga mempromosikan dan mendorong dikeluarkannya dokumen dan perolehan kewarganegaraan. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, kantor UNHCR di Indonesia melakukan upaya bahu membahu dengan instansi pemerintah yang relevan, LSM, badan PBB lainnya (UNFPA, UNICEF) dan organisasi sosial sipil yang melalui berbagai diskusi dan pertemuan membahas permasalahan untuk mengidentifikasi celah yang ada dalam peraturan dan praktek kesehariannya, untuk memperkuat komitmen diantara para partisipan dalam mengatasi tantangan yang saat ini ada dalam hal memperoleh kewarganegaraan Indonesia, dan untuk menimbang nilai lebih yang dapat diperoleh apabila instrumen hukum terkait statelessness diaksesi. Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Kementrian Hukum dan HAM dan Kementrian Dalam Negeri adalah mitra kerja utama UNHCR dalam menangani statelessness.

Meskipun Indonesia saat ini belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan atau Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan tanpa Kewarganegaraan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam reformasi ketentuan dan Undang – undang kewarganegaraannya. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi berbagai langkah proaktif untuk mengurangi dan mencegah keadaan tanpa kewarganegaraan, terutama dengan Undang – undang Kewarganegaraan 2006 yang menghapus ketentuan diskriminasi yang ada sebelumnya dan dengan adanya pembaharuan dalam ketentuan kewarganegaraan di Indonesia.










BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

UNHCR suatu lembaga PBB yang mendapat mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan langkah-langkah internasional untuk melindungi pengungsi dan menyelesaikan permasalahan pengungsi di seluruh dunia. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak-hak para pengungsi. Badan ini memastikan setiap pengungsi mendapatkan hak untuk memperoleh perlindungan. 

Tugas UNHCR antara lain adalah melakukan penentuan status pengungsi atau refugee status determination (RSD) dan juga memberikan solusi permanen untuk para pencari suaka yang telah mendapat status pengungsi yang terdiri dari :

1) Pemulangan sukarela (Repatriation)

2) Penempatan di negara ketiga (Resettlement)

3) Integrasi lokal

Selain hal tersebut UNHCR juga turut menangani masalah pengungsi internal (IDPs), seperti ketika terjadi bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias pada tahun 2004, dan juga orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (non stateless person).

Dalam melakukan tugas – tugasnya di Indonesia, UNHCR juga melakukan banyak kerjasama dengan Pemerintah Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dalam hal penentuan status pengungsi, yang mana jika pihak Indonesia yang mendapati adanya pencari suaka yang masuk ke wilayah Indonesia, maka pihak Indonesia akan segera memberitahukan kepada pihak UNHCR untuk kemudian ditangani secepatnya. Kemudian dalam hal terjadi bencana alam yang mengakibatkan terjadinya pengungsian, yang dalam istilah disebut pengungsi internal, UNHCR atas permintaan Pemerintah Indonesia akan turun untuk membantu para korban tersebut.

B. SARAN
Sebagai bangsa yang menjujung tinggi penghormatan dan penegakan hak asasi manusia, hendaknya perlu ada suatu pengaturan secara legal terhadap pengungsi dan pencari suaka di negara ini, baik mekanisme hukum dan kelembagaannya. Sehingga ratifikasi Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967 merupakan suatu hal yang mendesak untuk dilakukan mengingat makin bertambahnya laju masuk pengungsi Internasional ke Indonesia. Hal ini juga dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap UNHCR dalam menangani permasalahan pengungsi di Indonesia.

Dengan demikian proses penanganan pengungsi tersebut dapat lebih efisien, mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh UNHCR dalam hal sumber daya manusia dan biaya. Misalnya, jika telah melakukan ratifikasi maka pemerintah Indonesia dapat membuat suatu peraturan yang menempatkan proses penentuan status pengungsi di kantor – kantor Imigrasi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sehingga dapat tercapai suatu efisiensi yang tentunya menguntungkan bagi pengungsi yang sering terlunta – lunta apalagi dengan dilakukannya penempatan di Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi).

Selain itu juga Indonesia perlu meratifikasi Konvensi – Konvensi tambahan yang terkait dengan masalah seputar pengungsi Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan atau Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan tanpa Kewarganegaraan










DAFTAR PUSTAKA

www.unhcr.or.id, situs resmi UNHCR Indonesia
www.unhcr.org
Statuta UNHCR tahun 1950
Konvensi 1950 tentang Status Pengungsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Renang

BAB I  Pendahuluan  1.1. Dasar Pembuatan makalah ini tentang bidang olahraga “renang” yang dibuat untuk memenuhi tugas Pendidikan J...